Jumat, 09 Februari 2018

Keberadaan Virus di Dalam Perairan dan Hewan Air


Bab I
Virus di Perairan


Keberadaan Virus di Dalam Sumber Air

Katzenelson (1978) dalam Berg (1978) menyatakan bahwa virus merupakan material patogen dan daya patogen ini menimbulkan bahaya bagi lingkungan kita termasuk berbagai tipe perairan seperti air minum dan air yang digunakan untuk tujuan domestik dan rekreasi. Virus dari berbagai jenis ditemukan dalam badan air alami yang digunakan oleh manusia : mata air, sumur, sungai, danau, air keran dan air laut. Virus yang paling sering diisolasi termasuk kelompok enterovirus, yang mencakup poliovirus, echovirus dan coxsackievirus. Reovirus, adenovirus dan tipe-tipe lain juga ditemukan. Secara total, lebih dari 100 tipe telah diisolasi. Selain itu, indikasi-indikasi epidemiologi menunjukkan adanya virus dalam air yang merupakan agen hepatitis A. Banyak jenis virus di dalam air minum yang masuk ke tubuh melalui mulut bisa menyebabkan berbagai jenis penyakit. Kenyataannya, virus ditemukan dalam air minum di banyak tempat. Saat ini tak diragukan bahwa air merupakan vektor bagi penyakit akibat virus. Asal virus yang memasuki sumber air adalah karier (individu pembawa virus), yang sakit maupun sehat, yang mengeksresi virus ke dalam air limbah yang kadang-kadang mengandung 100 – 10.000 unit pembentuk-plak per 100 ml. Di banyak tempat, air limbah ini dibuang ke laut, sungai atau danau sehingga mencemari perairan alami dengan virus. Air banjir juga bisa tercemar dan mengangkut limbah bervirus ke dalam sumber air alami. Virus juga bisa menempuh perjalanan jauh melalui tanah dan akhirnya mencapai sumber air alami. Dengan demikian tidak mengherankan bila virus ditemukan pada hampir semua badan air, termasuk sumber air yang dimanfaatkan untuk tujuan domestik.

Virus Sebagai Komponen Komunitas Plankton

Moss (1980) menyatakan bahwa virus dan bakteri tersuspensi di dalam air sebagai sel tunggal atau koloni kecil dan umumnya melekat di tengah-tengah detritus organik atau organisme lainnya. Sulit diketahui berapa kepadatan mereka di dalam air karena metode untuk mempelajarinya tergolong masih baru berkembang. Metode yang paling baik untuk menentukan jumlah atau biomas mereka adalah menghitungnya langsung setelah bakteri disentrifusa atau disaring kemudian diberi warna, atau menentukan jumlah komponen kimia tertentu yang penting seperti asam muramik penyusun dinding sel. Banyak jenis bakteri hidup di dalam air dengan bentuk bermacam-macam, meskipun ada yang hanya berupa kumpulan batangan atau bulatan yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Beberapa di antaranya memetabolisme polimer gula mukosa atau satu jenis atau lebih polimer karbohidrat seperti yang ditemukan dalam dinding sel alga; jenis lainnya menguraikan kitin dari rangka luar krustasea dan senyawa fosfat organik yang disekresi oleh jenis-jenis plankton lainnya. Virus belum pernah diteliti secara intensif sebagai komponen plankton. Dipastikan virus memang ada di dalam air dan menyerang organisme lainnya. Diketahui bahwa virus jenis cyanophage menghancurkan alga hijau-biru, tetapi keberadaan virus jenis lain masih belum diketahui.

Kelemahan Bakteri Tinja Sebagai Indikator Keberadaan Virus Dalam Air

Berg dan Metcalf (1978) dalam Berg (1978) menjelaskan kelemahan penggunaan bakteri tinja sebagai indikator keberadaan virus di dalam perairan. Bakteri coli tinja, streptococci tinja dan mungkin bakteri indikator tinja lainnya diekskresi oleh hampir semua orang dengan jumlah yang konstan. Virus diekskresi dengan jumlah bervariasi dan hanya oleh orang yang terinfeksi. Laju infeksi virus alami adalah lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa secara umum, dan tingkat kejadian infeksi adalah lebih tinggi di daerah yang sanitasinya buruk. Laju infeksi alami pada populasi anak-anak bisa bervariasi dari 5 % kurang sampai hampir 100 %. Kejadian infeksi alami untuk enterovirus dan reovirus adalah lebih tinggi pada bulan-bulan musim hangat dibandingkan pada bulan-bulan musim dingin. Kejadian infeksi alami untuk virus hepatitis A, rotarovirus dan adenovirus adalah paling tinggi pada bulan-bulan musim dingin. Jadi, walaupun jumlah bakteri coli tinja, streptococci tinja dan bakteri indikator tinja lainnya relatif konstan di dalam sebuah populasi, jumlah virus yang diekskresi adalah bervariasi dan tergantung pada kejadian infeksi.

Banyak faktor yang mempengaruhi rasio antara jumlah bakteri indikator tinja terhadap jumlah virus di dalam air limbah. Rasio tersebut bervariasi dari musim ke musim, dari populasi masyarakat ke populasi masyarakat lain, dan dari negara ke negara. Jumlah bakteri indikator tinja dan jumlah virus dalam air limbah pada suatu masyarakat juga bervariasi dari jam ke jam, yang menunjukkan pola ekskresi harian. Variasi-variasi tersebut, bagaimanapun, tidak banyak mempengaruhi rasio bakteri indikator terhadap virus karena bakteri maupun virus kedua-duanya menerima dampak yang sama. Karena tidak ada rasio yang konstan antara bakteri indikator tinja terhadap virus di dalam air limbah, maka rasio tersebut di dalam perairan penerima limbah atau tempat lainnya juga tidak konstan. Namun demikian, karena jumlah bakteri indikator tinja melebihi jumlah virus di dalam air limbah, ada kemungkinan bahwa pada beberapa kisaran jumlah bakteri indikator, tidak ada virus dalam sampel tersebut. Bakteri yang tidak membentuk spora terbunuh oleh disinfeksi lebih cepat daripada virus, dan virus umumnya bertahan hidup lebih lama daripada bakteri yang tidak membentuk spora tersebut di dalam lingkungan perairan alami. Baik di dalam air limbah yang didisinfeksi maupun di perairan permukaan, virus berhasil pulih ketika bakteri coliform tinja tidak pulih dalam uji standar (Berg dan Metcalf, 1978 dalam Berg, 1978).

Apakah Tinggal Di Dekat Perairan Meningkatkan Resiko Terinfeksi Virus WNV ?

Nolan et al. (2012) melakukan studi untuk menentukan apakah tinggal di dekat sumber air meningkatkan resiko terinfeksi “West Nile virus” (WNV). WNV merupakan arbovirus (virus yang dipindahkan oleh hewan arthropoda) dari famili Flaviviridae yang siklus perpindahan utamanya terjadi antara burung dan nyamuk; manusia menjadi inang insidentil. Di Amerika Serikat, nyamuk Culex quinquefasciatus telah ditunjukkan merupakan vektor penting penularan penyakit WNV. Virus ini secara klinis menyerang ratusan penduduk di daerah metropolitan Houston sejak diperkenalkan tahun 2002. Peneliti mengidentifikasi 356 kasus positif–WNV dan 356 kontrol dengan menggunakan populasi yang proporsional dengan model ukuran data Biro Sensus Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hidup di dekat sumber air berarus-lamban berasosiasi secara statistik dengan meningkatnya resiko infeksi pada manusia, dan tinggal di dekat sistem perairan berarus-sedang berasosiasi dengan penurunan resiko infeksi pada manusia. Tinggal di dekat muara sungai/danau yang tepiannya dipenuhi vegetasi juga menunjukkan peningkatan resiko infeksi bila dibandingkan dengan muara yang tepiannya dibeton. Habitat perairan berarus lambat dan sumber air yang tepiannya bervegetasi tampaknya mendukung siklus penularan virus dari nyamuk ke manusia.

Penyakit Perut Akibat Pencemaran Pasokan Air Oleh Virus

Brugha et al. (1999) melaporkan bahwa pada bulan Agustus 1994, sebanyak 30 dari 135 (23 %) karyawan pabrik roti dan lebih dari 100 penduduk South Wales dan Bristol di United Kingdom, secara mendadak menderita sakit perut “gastroenteritis”. Studi epidemiologi terhadap karyawan dan tiga kelompok masyarakat menunjukkan bahwa penyakit yang diderita karyawan adalah berkaitan dengan kebiasaan minum air dingin di pabrik roti (resiko relatif 3.3; 95 %) sedang kasus pada penduduk berkaitan dengan kebiasaan makan puding custard (resiko relatif 19.8; 95 %) yang berasal dari berbagai toko yang dipasok oleh sebuah pabrik roti. “Small round-structured virus” (SRSV; virus berstruktur bundar kecil) diidentifikasi di dalam sampel tinja pada 4 kasus karyawan dan 7 kasus penduduk. Analisis polimerase dan daerah capsid pada genom SRSV dengan reaksi rantai transkripsi-polimerase menunjukkan adanya virus kedua kelompok gen masing-masing dengan beberapa urutan nukleotida yang berbeda. Heterogenitas virus yang diidentifikasi pada kasus gastroenteritis menunjukkan bahwa custard kering mungkin secara tidak disengaja bercampur dengan air yang tercemar. Kejadian ini menunjukkan bagaimana kontaminasi makanan sekunder dapat menyebabkan gastroenteritis berskala luas di masyarakat, dan menunjukkan kemampuan teknik molekular dalam mendukung metode epidemiologi klasik pada penelitian penyakit yang terjadi secara mendadak.

Menyingkirkan Virus Dari Air Dengan Membran

Madaeni et al. (1995) melaporkan bahwa membran makin banyak dipakai dalam proses disinfeksi untuk air mentah dan proses pemanfaatan kembali air limbah perkotaan. Efisiensi penghilangan virus adalah sangat penting dalam hal ini, terutama kemampuan mikrofiltrasi untuk menyaring virus. Telah dilakukan studi eksperimental perpindahan poliovirus menembus mikrofiltrasi 0.2 mikron dan membran ultrafiltrasi 30 kD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran ultrafiltrasi menolak virus dengan sempurna dan bahwa membran mikrofiltrasi menyingkirkan virus secara nyata pada kondisi yang tepat.

Dapatkah Klor Menonaktifkan Virus Norwalk Dalam Air Minum ?

Keswick et al. (1985) melaporkan bahwa virus Norwalk di dalam air lebih kebal terhadap inaktivasi klor daripada poliovirus tipe 1 (LSc2Ab), human rotavirus (Wa), simian rotavirus (SA11) atau bakteriofage f2. Klor dengan dosis 3,75 mg/liter adalah efektif untuk mengatasi virus-virus lain tetapi gagal menonaktifkan virus Norwalk. Inokulum virus Norwalk tetap menginfeksi lima dari delapan sukarelawan meskipun ada residu klor bebas. Daya infeksi pada sukarelawan dibuktikan oleh “seroconversion” (perubahan kondisi dari serum negatif menjadi serum positif) virus Norwalk. Pada 14 dari 16 orang yang menerima inokulum tanpa perlakuan, serum darahnya menunjukkan positif terhadap virus Norwalk. Penyakit dialami oleh empat dari delapan sukarelawan dan 11 dari 16 orang kontrol. Inokulum virus Norwalk serupa yang diberi perlakuan 10 mg/liter klor menyebabkan penyakit hanya pada satu orang dan gagal merangsang serokonversi pada kedelapan sukarelawan. Klor bebas (5 sampai 6 mg/liter) ditemukan setelah 30 menit periode kontak. Norwalk virus tampaknya sangat kebal terhadap klor sehingga ia berperanan penting dalam kejadian mendadak munculnya penyakit asal-air.

Bab II
Virus di Dalam Laut, Kerang dan Ikan


Variasi Musiman Kelimpahan Virus di Teluk

Wommack et al. (1992) melaporkan bahwa virus dalam jumlah banyak telah ditemukan pada sampel air yang dikumpulkan dari Teluk Chesapeake. Virus dihitung dengan uji ultrasentrifugasi sampel air pada grid (kaca bergaris) yang kemudian dilihat dengan mikroskop elektron tansmisi. Jumlah virus pada September 1990, April 1991, Juni 1991, Agustus 1991 dan Oktober 1991 berkisar antara 2,6 x 106 dan 1,4 x 108 virus/ml dengan rata-rata 2,5 x 107 virus/ml. Jumlah virus biasanya adalah minimal tiga kali jumlah bakteri yang dihitung langsung pada sampel yang sama. Jumlah virus pada Agustus dan Oktober secara nyata lebih banyak dibandingkan pada waktu-waktu sampling yang lain, sedangkan jumlah bakteri secara nyata lebih rendah pada saat itu, sehingga menghasilkan rasio virus terhadap bakteri 12,6 dan 25,6, berturut-turut. Dari analisis morfologi partikel virus, disimpulkan bahwa sebagian besar virus adalah bakteriofage (pemakan bakteri). Banyaknya virus yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa virus mungkin merupakan faktor penting yang mempengaruhi populasi bakteri di Teluk Chesapeake, dengan dampak terhadap pemindahan gen dalam populasi bakteri perairan alami dan pelepasan mikroorganisme hasil rekayasa genetik ke lingkungan estuaria dan pesisir.

Kelimpahan Virus di Perairan Terumbu Karang

Paul et al. (1993) mempelajari distribusi virus dan kelimpahan mikroba di lingkungan terumbu karang Key Largo, Florida. Kelimpahan virus dalam kolom air, yang dihitung secara langsung dengan bantuan mikroskop elektron transmisi, adalah tinggi di Blackwater Sound (Teluk Florida) sebanyak 1,2 x 107 virus per ml, berkurang ke arah patahan benua (1,7 x 106 virus per ml) dan berkorelasi terbalik dengan salinitas (r = - 0,97). Perhitungan langsung jumlah virus dalam sampel sedimen berkisar dari 1,35 x 108 sampai 5,3 x 108 virus/ml dan rata-rata hampir 2 ordo besaran lebih banyak daripada jumlahnya dalam kolom air. Perhitungan langsung jumlah virus (baik dalam sedimen maupun kolom air) melebihi jumlah bakteri laut inang (Vibrio natriegens dan lain-lain) sebanyak 7 – 8 ordo besaran. Kelimpahan virus dalam kolom air tidak berkorelasi dengan hasil perhitungan langsung jumlah bakteri atau klorofil-a, dan parameter-parameter virus sedimen tidak berkorelasi dengan data salinitas, virus dan mikroba kolom air. Coliphage (pemakan bakteri coli), yang merupakan indikator pencemaran tinja, terdeteksi dalam dua sampel kolom air dan kebanyakan sampel sedimen, namun konsentrasinya relatif rendah (kurang dari 2 – 15 per liter untuk sampel kolom air, dan kurang dari 2 sampai 108 per ml sedimen). Penemuan ini menunjukkan bahwa virus melimpah di lingkungan Key Largo, terutama di sisi Teluk Florida, dan bahwa proses-proses yang mengendalikan distribusi virus dalam kolom air (yaitu, salinitas dan masukan air tawar) adalah tidak berhubungan dengan proses-proses yang mengendalikan distribusinya di dalam lingkungan sedimen.

Kelimpahan DNA Seukuran-Virus di Laut

Maruyama et al. (1993) memperkirakan bahwa konsentrasi DNA total dalam filtrat filter Nuclepore berukuran-pori-0,2-mikron (fraksi kurang dari 0,2 mikron) di perairan Teluk Tokyo adalah 9 sampai 19 nanogram/ml berdasarkan metode kuantifikasi imunokimia. Hampir 90 % DNA dalam fraksi yang berukuran kurang dari 0,2 mikron adalah lebih besar dari 3,0 x 105 Da dan 0,03 mikron, dan kebanyakan tidak rentan terhadap pencernaan DNase, jadi terdiri dari DNA tak-tercerna-DNase (DNA berselubung). DNA dengan jumlah nyata diperoleh dari fraksi berukuran kurang dari 0,2 mikron dalam air laut dengan tiga metode yang berbeda : presipitasi (pengendapan) polietilen glikol presipitasi etanol langsung, dan konsentrasi ultrafilter. Analisis gel elektroforesis terhadap isolat DNA menunjukkan bahwa mereka terdiri dari terutama DNA berselubung dengan ukuran molekul yang sama (20 sampai 30 kb atau 1,3 x 107 sampai 2,0 x 107 DA). Kelimpahan DNA berselubung yang seukuran-virus ultramikron di dalam air laut alami menunjukkan bahwa partikel-partikel kaya-DNA ini adalah berhubungan dengan kumpulan virus DNA laut dan bahwa mereka bisa menjadi cadangan fosfor yang penting bagi lingkungan.

Penghambatan Fotosintesis Fitoplankton Laut Oleh Virus

Suttle (1992) mengamati penghambatan fotosintesis fitoplankton di laut oleh partikel mirip virus. Teknik ultrafiltrasi digunakan untuk memekatkan fraksi berukuran 2 – 200 nanometer dari sampel air laut hingga kepekatan 100 sampai 1000 kali lipat. Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa konsentrat ini sangat kaya akan partikel mirip-virus. Bila sedikit konsentrat ini diteteskan ke dalam sampel air laut alami maka produktivitas primer (penyerapan 14C-bikarbonat) sedikit terpengaruh bahkan bisa dihambat sampai 78 % dalam beberapa menit. Pada beberapa kasus, peningkatan 20 % konsentrasi fraksi ini ke dalam air laut bisa menurunkan laju fiksasi karbon sampai hampir 50 %. Fitoplankton yang paling terpengaruh oleh partikel mirip-virus ini adalah fitoplankton yang berukuran lebih dari 3 mikron.

Virus Laut Raksasa ?

Bratbak et al. (1992) melaporkan bahwa partikel mirip virus (virus-like particle, VLP) berukuran besar yang tak wajar dan berekor telah ditemukan dalam sampel air dari perairan pesisir Norwegia dan Denmark. Ukuran kepala VLP adalah 340 sampai 400 nanometer dan ekornya 2,2 sampai 2,8 mikron. VLP ini terdapat pada konsentrasi maksimum sekitar 104/ml. Inang yang mungkin untuk virus ini tidak diketahui.

Pendeteksian Virus Enterik Dalam Oyster

Atmar et al. (1993) melaporkan bahwa prosedur untuk mendeteksi asam nukleat virus enterik dalam oyster dengan reaksi rantai polimerase telah dikembangkan. Poliovirus tipe 1 dengan jumlah diketahui dibiakkan di dalam tubuh kerang oyster. Virus diekstrak dan dipekatkan dengan menggunakan flokulasi organik dan presipitasi polietilen glikol. Penghambat reaksi rantai polimerase-transkripsi balik ada dalam ekstrak oyster, yang mencegah perbanyakan asam nukleat virus sasaran. Teknik presipitasi acetyltrimethylammonium bromide cukup untuk menyingkirkan penghambat sehingga memungkinkan pendeteksian sampai serendah 10 PFU poliovirus. Virus Norwalk juga bisa dideteksi setelah dibiakkan di dalam oyster. Metodologi ini bisa berguna untuk mendeteksi virus tersebut dan virus patogen lain asal kerang.

Birnavirus Pada Bandeng

Chen (1990) mempelajari karakteristik dan daya patogen virus bandeng (milkfish virus atau MV) yang diisolasi dari ikan bandeng budidaya (Chanos chanos). Bila MV diinokulasi ke dalam sistem kultur sel CCT (color carp testis) dan diamati menggunakan mikroskop elektron maka terlihat adanya virion berdiameter 55 – 65 nanometer. Telah ditunjukkan bahwa MV ini stabil dalam larutan netral dan asam serta dalam pelarut organik. Studi penghambat metabolik menunjukkan bahwa virus tersebut memiliki RNA sebagai material genetiknya. Hasil penelitian yang diperoleh dari uji elektroforesis asam nukleat, netralisasi dan immunoblotting menunjukkan bahwa MV merupakan galur Ab dari virus Infectious Pancreatic Necrosis.

Bab III
Virus Pada Udang Penaeidae


Lima Jenis Virus Utama Pada Udang Windu

Flegel (1997) melaporkan bahwa ada lima jenis virus yang berbeda yang baru-baru ini dipelajari pengaruhnya terhadap budidaya komersial udang windu (Penaeus monodon) di Thailand. Beberapa di antara virus ini menyebabkan penyakit pada spesies udang penaeidae lain dan bahkan pada spesies krustasea lain. Sebagian virus tersebut tidak hanya ada dalam udang budidaya di negara-negara Asia lain, tetapi juga ditemukan pada udang di Australia dan negara-negara di belahan bumi bagian barat. Dalam urutan dari yang memberikan dampak ekonomi terbesar sampai terkecil bagi industri udang Thailand, kelima jenis virus tersebut adalah : white-spot baculovirus, yellow-head virus, hepatopancreatic parvo-like virus, “infectious hypodermal and hematopoeitic necrosis” (IHHN) virus dan monodon baculovirus.

Virus Pada Udang Penaeidae

Spann dan Lester (1997) menyatakan bahwa budidaya udang penaeidae di seluruh dunia sangat tergantung pada stok yang ditangkap dari alam liar sehingga sangat berpotensi memasukkan patogen-patogen baru, terutama virus, ke dalam sistem budidaya. Dari 13 virus yang menyerang udang penaeidae budidaya, tujuh di antaranya telah dipelajari dalam 5 tahun terakhir; wabah penyakit virus yang paling merugikan untuk buddiaya udang penaeidae juga telah dilaporkan dalam 5 tahun terakhir. Selama pengamatan terhadap udang liar lokal dan udang budidaya, empat virus baru ditemukan. “Bennettae baculovirus” ditemukan dalam kelenjar pencernaan udang Metapenaeus bennettae liar. Virus ini sangat mirip dengan “monodon baculovirus” (MBV), tetapi memiliki virion yang lebih ramping, tidak bereaksi-silang dengan pemeriksaan DNA untuk MBV dan tidak menginfeksi Penaeus monodon. Dua virus yang secara morfologis tidak dapat dibedakan, satu bersifat patogen (yaitu virus yang berasosiasi dengan insang atau “gill-associated virus”, GAV) dan satu lagi tidak berbahaya (yaitu “lymphoid organ virus”, LOV), ditemukan dalam Penaeus monodon budidaya. LOV dan GAV sangat mirip dengan “yellow head virus” (YHV, virus kepala kuning) dari Thailand. Virus yang mirip dengan virus parvo ditemukan baru-baru ini dalam post larva Penaeus japonicus mati. Sejalan dengan meningkatnya intensitas budidaya udang di dunia, peneliti bisa berharap menemukan virus-virus penaeidae lainnya.

Virus Pada Udang Budidaya Berasal Dari Udang Liar

Menurut Owens (1997) pada awal sejarah budidaya udang di Australia, jelas sekali bahwa keberadaan semua virus dalam akuakultur didahului oleh masuknya udang liar. Selama proses intensifikasi pertambakan, juga sangat jelas bahwa pemeliharaan udang pemijah dari alam liar berpotensi menimbulkan masalah. Tidak ada bukti bahwa virus-virus jenis baru diperkenalkan ke Australia, tetapi yang ada adalah virus-virus tersebut selalu telah ada di dalam udang liar di mana virus-virus tersebut menunggu kesempatan untuk berkembang biak bersamaan dengan meningkatnya kepadatan populasi udang dalam akuakultur. Informasi mengenai virus udang memperkuat dugaan bahwa fauna penyebab penyakit organisme laut di Australia merupakan bagian dari fauna Asia yang lebih besar. Bagaimanapun, ada beberapa bukti bahwa beberapa galur Australia adalah berbeda.

Infeksi Virus IHHN Pada Udang Penaeidae

Owens et al. (1992) melaporkan bahwa mortalitas kronis derajat-rendah telah menjadi wabah pada sekelompok udang Penaeus esculentus yang dihibridisasi dengan udang windu Penaeus monodon di Australia. Pengamatan histopatologis menunjukkan adanya perubahan jaringan yang luas pada insang, hipodermis (lapisan kulit bawah), kelenjar antena, jantung, tali saraf ventral, organ limfa, jaringan hematopoietik (jaringan pembentuk darah), otot dan jaringan penyokong yang mencakup jaringan penyokong intertubula di dalam hepatopankreas. Sel yang terinfeksi menunjukkan inklusi tipe A Cowdry internuklear dengan kromatin bertepi. Inklusi ini tidak bereaksi positif terhadap pewarnaan DHA Feulgen. Mikroskop elektron menunjukkan partikel-partikel berdiameter sekitar 20 nm di dalam sitoplasma dekat nukleus tetapi tidak ada virion. Semua ciri di atas sesuai dengan “infectious hypodermal and hematopoietic necrosis virus” (IHHNV). Virus lain yang menginfeksi udang-udang ini mencakup “lymphoidal parvovirus” (LPV), Plebejus baculovirus (PBV), baculovirus hemositik dan virus berbentuk ikosahedral besar. Ini merupakan laporan pertama tentang IHHNV di negara yang tidak mengimpor udang hidup dan diduga bahwa IHHNV muncul secara alami di daerah Australia Indo-Pasifik Barat.

Pengaruh Padat Penebaran dan Pertukaran Air Terhadap Infeksi Virus IHHN

Browdy et al. (1993) menyatakan bahwa telah lama diduga ada korelasi antara “runt deformity syndrome” (RDS; sindrom kelainan bentuk kerdil), kelainan morfologi, produksi yang rendah dan infeksi virus pada berbagai spesies udang penaeidae. Untuk itu dilakukan penelitian, dalam rancangan percobaan faktorial, dengan padat penebaran yang makin meningkat (60 dan 100/m2) dan pertukaran air yang makin sedikit (100 %, 50 % dan 10 % per hari) sebagai faktor. Dua belas tangki bervolume 29,2 m2 ditebari dengan post larva Penaeus vannamei, yang diduga terinfeksi virus IHHN, dari hatchery Central America, kemudian dipanen setelah 164 hari. Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah menyebabkan kelangsungan hidup rendah (43,5 % dan 53,6 %) dalam tangki yang ditebari 100 ekor per m2 dan pertukaran air 10 % per hari. Padat penebaran dan pertukaran air berpengaruh sedikit terhadap kualitas air, kelangsungan hidup atau pertumbuhan udang pada kelompok-kelompok percobaan lainnya. “Runt deformity syndrome” berkorelasi dengan meningkatnya kejadian virus IHHN yang berkaitan dengan inklusi tipe A Cowdry dalam 4 sistem organ. Ada kecenderungan menurunnya kejadian inklusi ketika pertukaran air ditingkatkan dari 50 % menjadi 100 % per hari. Distribusi ukuran udang saat panen menunjukkan bahwa kelainan bentuk badan lebih jarang terjadi pada tangki yang kelangsungan hidup udangnya rendah, yang berarti bahwa mortalitas meningkat pada udang yang dengan parah terinfeksi RDS.

Pertumbuhan dan Kekebalan Udang Yang Pernah Terinfeksi Virus IHHN

Martinez-Cordova (1992) melaporkan bahwa stok udang biru (Penaeus stylirostris) yang terinfeksi virus IHHN (infectious hypodermal and hematopoietic necrosis) telah dipelihara tanpa sengaja di dalam kolam tanah di Sonora, Meksiko, selama musim semi – musim panas. Meskipun kelangsungan hidup udang biru yang terinfeksi tersebut adalah rendah, namun pertumbuhan udang yang bertahan hidup adalah sangat baik dan tampaknya sehat. Udang biru yang tetap hidup setelah terinfeksi adalah kebal terhadap virus IHHN.

Referensi :

Atmar, R.L., T.G. Metcalf, F.H.Neill and M.K. Estes. 1993. Detection of Enteric Viruses in Oysters by Using The Polymerase Chain Reaction. Applied Environmental Microbiology, vol. 59, no. 9, pp. 631 - 635

Berg, G. and T.G. Metcalf. 1978. Indicators of Virus in Waters dalam Berg, G. (Ed.). 1978. Indicators of Viruses in Water and Food. Ann Arbor Science. Michigan, USA. 424 pp.

Bratbak, G., O.H. Haslund, M. Heidal, A. Naess and T. Roeeggen. 1992. Giant Marine Viruses ? Marine Ecology Progress Series, vol. 85, no. 1 – 2, pp. 201 – 202

Browdy, C.L., J.D. Holloway, Jr., C.O. King, A.D. Stokes, J.S. Hopkins and P.A, Sandifer. 1993. IHHN Virus and Intensive Culture of Penaeus vannamei : Effects of Stocking Density and Water Exchange Rates. Journal of Crustacean Biology, Vol. 13, No. 1, pp. 87 - 94

Brugha, R., I.B. Vipond, M.R. Evans, Q.D. Sandifer, R.J. Roberts, R.L. Salmon, E.O. Caul and A.K. Mukerjee. 1999. A Community Outbreak of Food-Borne Small Round-Structured Virus Gastroenteritis Caused by A Contaminated Water Supply, Epidemiology and Infection, vol. 122, pp. 145 - 154

Chen, M.M. 1990. Characteristics of A Birnavirus Isolated From Chanos chanos. COA Fisheries Series, vol. 24, pp. 46 – 59

Flegel, T.W. 1997. Major Viral Diseases of The Black Tiger Prawn (Penaeus monodon) in Thailand, World Journal of Microbiology and Biotechnology, Vol. 13, No. 4, pp. 433 - 442

Katzenelson, E. 1978. Survival of Virus in Waters dalam Berg, G. (Ed.). 1978. Indicators of Viruses in Water and Food. Ann Arbor Science. Michigan, USA. 424 pp.

Keswick, B.H., T.K. Satterwhite, P.C. Johnson, H.L. DuPont, S.L. Secor, J.A. Bitsura, G.W. Gary and J.C. Hoff. 1985. Inactivation of Norwalk Virus in Drinking Water by Chlorine. Applied Environmental Microbiology, vol. 50, no. 2, pp. 261 - 264

Madaeni, S.S., A.G. Fane and G.S. Grohmann. 1995. Virus Removal From Water and Wastewater Using Membranes, Journal of Membrane Science, Vol. 102, pp. 65 – 75

Martinez-Cordova, L.R. 1992. Cultured Blue Shrimp (Penaeus stylirostris) Infected With Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus in Northwestern Mexico. Progessive Fish Culturist, Vol. 54, No. 4, pp. 265 – 266

Maruyama, A., M. Oda and T. Higashihara. 1993. Abundance of Virus-Sized Non-DNase-Digestible DNA (Coated DNA) in Eutrophic Seawater. Applied Environmental Microbiology, vol. 59, no. 3, pp. 712 – 717, ISSN 0099-2240

Moss, B. 1980. Ecology of Freshwaters. Blackwell Scientific Publ. Oxford. 332 pp.

Nolan, M.S., A. Zangeneh, S.A. Khuwaja, D. Martinez, S.N. Rossmann, V. Cardenas and K.O. Murray. 2012. Proximity of Residence to Bodies of Water and Risk for West Nile Virus Infection: A Case-Control Study in Houston, Texas, Journal of Biomedicine and Biotechnology, Vol. 2012, 6 pp.

Owens, L. 1997. The History of The Emergence of Viruses in Australian Prawn Aquaculture. World Journal of Microbiology and Biotechnology, Vol. 13, No. 4, pp. 427 - 431

Owens, L., I.G. Anderson, M. Kanway, L. Trott and J.A.H. Benzie. 1992. Infectious Hypodermal and Haemotopoietic Necrosis Virus (IHHNV) in A Hybrid Penaeid Prawn From Tropical Australia, Diseases of Aquatic Organisms; Vol. 14, No. 3, pp. 219 - 228

Paul, J.H., J.B. Rose, S.C. Jiang, C.A. Kellogg and L. Dickson. 1993. Distribution of Viral Abundance in The Reef Environment of Key Largo, Florida. Applied Environmental Microbiology, vol. 59, no. 3, pp. 718 – 724, ISSN 0099-2240

Spann, K.M. and R.J.G. Lester. 1997. Viral Diseases of Penaeid Shrimp With Particular Reference to Four Viruses Recently Found in Shrimp From Queensland. World Journal of Microbiology and Biotechnology, Vol. 13, No. 4, pp. 419 - 426

Suttle, C.A. 1992. Inhibition of Photosynthesis in Phytoplankton by The Submicron Size Fraction Concentrated From Seawater. Marine Ecology Progress Series, vol. 87, no. 1 – 2, pp. 105 – 112, ISSN 0171-8630

Wommack, K.E., R.T. Hill, M. Kessel, E. Russek-Cohen and R.R. Colwell. 1992. Distribution of Viruses in The Chesapeake Bay. Applied Environmental Microbiology, vol. 58, no. 9, pp. 2965 - 2970

Tidak ada komentar:

Posting Komentar