Selasa, 06 Februari 2018

Bakteri di Perairan dan Penyakit Bakterial


Bab I
Bakteri Planktonik Dalam Perairan


Virus dan Bakteri Sebagai Komponen Komunitas Plankton

Moss (1980) menyatakan bahwa virus dan bakteri tersuspensi di dalam air sebagai sel tunggal atau koloni kecil dan umumnya melekat di tengah-tengah detritus organik atau organisme lainnya. Sulit diketahui berapa kepadatan mereka di dalam air karena metode untuk mempelajarinya tergolong masih baru berkembang. Metode yang paling baik untuk menentukan jumlah atau biomas mereka adalah menghitungnya langsung setelah bakteri disentrifusa atau disaring kemudian diberi warna, atau menentukan jumlah komponen kimia tertentu yang penting seperti asam muramik penyusun dinding sel. Banyak jenis bakteri hidup di dalam air dengan bentuk bermacam-macam, meskipun ada yang hanya berupa kumpulan batangan atau bulatan yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Beberapa di antaranya memetabolisme polimer gula mukosa atau satu jenis atau lebih polimer karbohidrat seperti yang ditemukan dalam dinding sel alga; jenis lainnya menguraikan kitin dari rangka luar krustasea dan senyawa fosfat organik yang disekresi oleh jenis-jenis plankton lainnya. Virus belum pernah diteliti secara intensif sebagai komponen plankton. Dipastikan virus memang ada di dalam air dan menyerang organisme lainnya. Diketahui bahwa virus jenis cyanophage menghancurkan alga hijau-biru, tetapi keberadaan virus jenis lain masih belum diketahui.

Peranan Bakteri Fotosintesis Dalam Ekologi Danau

Menurut Moss (1980) fitoplankton merupakan komponen plankton yang mampu berfotosintesis. Kisaran ukuran bakteri besar bertumpang tindih dengan fitoplankton terkecil. Meskipun beberapa jenis bakteri itu sendiri (juga alga hijau biru yang dinding selnya memiliki struktur prokaryotik sama seperti dinding sel bakteri) mampu berfotosintesis tetapi melimpah hanya bila konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah. Kondisi terakhir ini banyak ditemui pada lapisan hipolimnioin danau-danau subur dan kolam kecil yang banyak menerima bahan organik, misalnya daun. Tidak seperti alga hijau-biru dan jenis alga lainnya, bakteri jenis ini tidak menggunakan air melainkan senyawa semacam hidrogen sulfida dan tiosulat sebagai donor hidrogen dalam proses fotosintesis. Peranan mereka mungkin sangat penting dalam siklus zat hara di danau, terutama siklus sulfur dan karbon.

Sumber Nitrogen dan Pemanfaatan Asam Amino Oleh Bakteri Planktonik Danau

Simon dan Rosenstock (1992) meneliti respon fisiologis bakteri planktonik terhadap berbagai sumber karbon dan nitrogen di danau mesotrofik Lake Constance (Bodensee) dengan mempelajari komposisi asam-asam amino dan pengenceran isotop terhadap asam amino (3H) dalam ruang intraseluler . Bakteri terutama memanfaatkan asam-asam amino untuk pertumbuhan sejak ledakan popukasi fitoplankton musim semi pada bulan Mei sampai Agustus. Selama periode ini, komposisi asam amino dalam ruang intraseluler agak sama dengan komposisi asam amino bebas terlarut (dissolved free amino acid; DFAA) di dalam air. Serin selalu merupakan DFAA dominan dan mendominasi ruang intraseluler sejak Mei sampai Agustus. Dari Juli hingga April, bagaimanapun, ruang intraseluler didominasi oleh glutamat, yang menunjukkan bahwa selama periode ini bakterioplankton memanfaatkan NH4+ sebagai sumber utama nitrogen. Selama ledakan populasi musim semi dan pada bulan Juni, pengenceran isotop terhadap asam-asam amino yang paling melimpah adalah 1 (tidak ada pengenceran) sampai 4. Glutamat, bagaimanapun, menunjukkan nilai pengenceran isotop yang jauh lebih tinggi (10 – 47), yang berarti bahwa NH4+ dimanfaatkan oleh bakterioplankton selama bulan-bulan ini. Pada Agustus, bagaimanapun, pengenceran isotop untuk semua asam amino adalah tinggi dan tidak berkurang dengan bertambahnya konsentrasi DDFAA, yang menunjukkan bahwa bakteri dalam periode ini terutama memanfaatkan gabungan asam-asam amino terlarut.

Bab II
Pemanfaatan Bakteri Untuk Mengolah Air Limbah


Keuntungan Penanganan Limbah Industri Secara Anaerob

Olthof dan Oleszkiewicz (1982) berpendapat bahwa penanganan limbah industri secara biologis saat ini umumnya dilakukan di dalam reaktor aerob, yang mengubah bahan organik menjadi air dan karbon dioksida dalam keadaan ada udara. Penanganan limbah secara anaerob, sebaliknya, akan mengubah limbah organik menjadi metana dan karbon dioksida dalam keadaan tidak ada udara. Keuntungan penanganan secara anaerob adalah konsumsi energi yang rendah dan dihasilkannya bahan bakar gas yang berguna, yakni metana, daripada penanganan aerob yang menghasilkan lumpur dalam jumlah banyak tapi tak berguna. Selain hemat energi dan produksi lumpur sedikit, keuntungan lain sistem anaerob adalah kemampuan menguraikan senyawa organik komplek pada konsentrasi tinggi, ketiadaan bau busuk dan sesuai untuk dioperasikan secara musiman. Faktor yang menghalangi penerapan sistem anaerob adalah kekhawatiran timbulnya masalah keracunan dan ketidakstabilan sistem tersebut. Sebenarnya, jika dirancang dan dioperasikan dengan baik maka sistem penanganan limbah secara anaerob akan dapat bekerja pada suhu rendah (10 – 30 oC), mampu menahan lumpur senyawa beracun bahkan menguraikannya, prosesnya berjalan stabil meskipun komposisi air limbahnya berubah-ubah, serta efisiensi pengolahan yang setinggi atau bahkan lebih tinggi dibandingkan sistem aerob – dengan volume reaktor yang sama namun biaya operasinya lebih kecil.

Cara Kerja Sistem Anaerob Dalam Penanganan Limbah Industri

Olthof dan Oleszkiewicz (1982) menjelaskan cara kerja sistem anaerob dalam penanganan limbah industri. Pada reaktor anaerob, bakteri mengubah sebagian besar bahan organik yang ada dalam air limbah menjadi gas metana dan karbon dioksida pada kondisi tak ada udara. Jika air limbah cukup pekat, nilai energi gas lebih besar daripada energi yang dibutuhkan untuk mengoperasikan reaktor pada suhu optimal (33 – 35 oC untuk sejenis bakteri anaerob). Penanganan limbah secara aerob membutuhkan banyak udara yang digunakan untuk mengubah sedikitnya 40 – 60 % bahan organik (dinyatakan sebagai COD, Chemical Oxygen Demand) menjadi lumpur dalam jumlah sangat banyak. Dengan kata lain, bakteri aerob menyumbangkan seluruh energinya untuk reproduksi yang menghasilkan sejumlah besar massa sel (lumpur), sedangkan bakteri anaerob menyumbangkan sebagian besar energinya untuk memproduksi metana.

Menurut Olthof dan Oleszkiewicz (1982) operasi sistem anaerob tergantung pada dua parameter : laju penghilangan (degradasi) bahan organik dan laju pertumbuhan biomas (hasil). Laju pembentukan gas juga penting, namun merupakan fungsi dari laju penghilangan dan laju pertumbuhan. Dibandingkan dengan penanganan aerob, sistem anaerob secara khas mempunyai laju penghilangan bahan organik dan laju pertumbuhan yang lebih rendah. Ini berarti bahwa untuk efisiensi penghilangan yang sama (didefinisikan sebagai persentase penurunan Chemical Oxygen Demand) sistem anaerob :

1. Membutuhkan solid residence time (SRT) atau “waktu tinggal padatan” yang lebih lama. Hal ini tidak berarti harus membutuhkan reaktor yang lebih besar karena hydraulic residence time tidak perlu lebih besar.

2. Memproduksi lebih sedikit lumpur. Ini merupakan keuntungan sistem anaerob karena pembuangan lumpur membutuhkan biaya yang cukup banyak.

3. Pemulihan setelah terjadi keracunan berlangsung lebih lambat karena reproduksi bakteri lebih lamban. Namun bakteri anaerob yang menempel pada substrat dapat melindungi dirinya dari racun sehingga menjadi dorman (pasif) bila terkena racun. Pada beberapa sistem, bakteri aktif kembali setelah racun dihilangkan.

Laju pertumbuhan dan penghilangan dipengaruhi oleh berbagai sifat air limbah. Untuk mengetahuinya, adalah penting untuk memahami mekanisme penguraian anaerob. Secara umum ada tiga tahap : hidrolisis padatan tersuspensi,; acetogenesis atau pengubahan bahan organik terlarut menjadi asam lemak yang dapat menguap (terutama asam asetat); dan metanogenesis atau pengubahan asam lemak yang dapat menguap menjadi metana. Acetogenesis dan metanogenesis dilakukan oleh bakteri anaerob yang berbeda (Olthof dan Oleszkiewicz, 1982).

Bab III
Bakteri Penyebab Penyakit Pada Ikan


Metode Diagnosis Penyakit Ikan Epizootik

Adanya suatu kondisi penyakit ikan terwujud melalui suatu ketidaknormalan. Diagnosis pada dasarnya merupakan suatu pengenalan ketidaknormalan ini dan menentukan penyebabnya dengan mengikuti serangkaian prosedur yang dikembangkan melalui pengalaman selama bertahun-tahun oleh para peneliti penyakit ikan. M. Kr. Das dalam buku “Standardization of Methods for Diagnosis and Prevention of Epizootic Fish Diseases” menjelaskan metode diagnosis penyakit ikan sebagai berikut :

Monitoring Kesehatan Ikan

Aspek ini penting karena melalui monitoring berkala terhadap kondisi kesehatan pada suatu daerah tertentu maka penyimpangan-penyimpangan dari kondisi kesehatan normal pada ikan dapat ditentukan. Penting bagi para pekerja kesehatan ikan untuk memperoleh informasi dasar melalui monitoring secara teratur sehingga masalah-masalah kesehatan ikan dapat dideteksi.

Informasi umum mengenai ikan yang perlu dicatat :
1. Gerak (reflek meloloskan diri)
2. Tingkah laku makan (rakus, lamban, bersembunyi)
3. Penampilan eksternal (berlendir atau kasar)
4. Mortalitas (data terakhir)
5. Kondisi umum (umur, berat, faktor kondisi)
6. Pengujian ikan (parasit, histologi mikroorganisme, darah)

Informasi umum mengenai lingkungan ikan yang perlu dicatat :
1. Deskripsi lokasi
2. Tipe badan perairan
3. Pasokan air (air hujan, irigasi, air selokan, sumur-dalam)
4. Tumbuhan air dan tumbuhan darat di sekitar daerah perairan tersebut
5. Tipe dasar kolam
6. Binatang yang hidup berasosiasi di daerah perairan tersebut (plankton, bentos, amfibi, burung)
7. Perubahan lingkungan yang terakhir
8. Pengujian kualitas air (suhu, warna. kejernihan, pH, alkalinitas, keasaman, kesadahan, amonia, klorida, oksigen terlarut, hidrogen sulfida, karbon dioksida bebas).

Metode Sampling

Ikan : Sampling untuk tujuan monitoring rutin bervariasi dalam situasi di mana ikan ditemukan mati. Biasanya metode sampling ini memperhatikan :
1. Ukuran sampel : ukuran sampel disesuaikan dengan ukuran populasi yang disampling, dan sesuai dengan derajat yang dikehendaki peluang ditemukannya patogen secara merata.
2. Ikan yang hampir mati merupakan contoh terbaik untuk pengujian di daerah perairan dalam hal masalah kesehatan ikan.

Prosedur Sampling Lapangan

Bell (1978) memperkenalkan tiga kemungkinan penyebab kematian pada populasi ikan liar.
a. Stres lingkungan atau keracunan – Ini ditandai oleh kematian serentak yang bersifat non selektif pada ikan-ikan dari berbagai kelompok umur dan bahkan sering pula ikan-ikan dari berbagai spesies.
b. Infeksi mikroba (virus, bakteri, protozoa, jamur). Ini dicirikan oleh kerusakan jaringan internal dan/atau eksternal makroskopik di bawah kulit dan serta ketidaknormalan lain seperti haemorrhagi, pembengkakan, koreng (ulcer), pemudaran warna, pemucatan insang yang menunjukkan kerusakan daun insang, sirip robek-robek, insang dan kulit ditutupi banyak lendir tebal. Biasanya hanya satu spesies ikan yang diserang. Kematian relatif cepat.
c. Metazoa – Ekto atau endoparasit ataupun keduanya mudah dilihat dengan mata telanjang. Kematian seringkali lambat.

Prosedur sampling lapangan untuk pengujian rutin dan selama berjangkitnya penyakit (untuk mengidentifikasi penyebabnya) bisa berubah-ubah. Pada kondisi lapangan di mana fasilitas untuk melakukan pengujian yang memerlukan laboratorium tersedia maka seorang petugas diagnostik bisa menjalankan metode-metode diagnosis tetapi bila fasilitas seperti ini tidak tersedia dan ikan hidup tidak dapat diangkut maka sampel jaringan ikan (seperti insang, ginjal, limfa atau organ yang terlihat terserang) bisa dikumpulkan dengan metode standar yang diketahui untuk penelitian virus ataupun bakteri atau untuk penerapan metode histologis.

Sampel darah : Pengumpulan sampel memerlukan kecermatan dan keseragaman metode pengumpulan untuk menjamin kesamaannya. Sampel dikumpulkan di lapangan dengan stres minimum misalnya dengan bantuan obat bius. Untuk darah yang disampling di lapangan paling baik diperoleh dengan melukai batang ekor.

Sampel bakteriologis
: Tenik bakteriologis standar digunakan untuk mendeteksi adanya bakteri patogen. Sebagian besar sampel bakteriologi diuji dengan teknik inokulum lempengan (plate inoculum technique). Cawan petri yang berisi agar-agar zat hara padat dipakai sebagai substrat untuk pertumbuhan bakteri.

Sampel parasit : Sampel parasit dikumpulkan dan disimpan untuk pengujian laboratorium dengan menggunakan prosedur standar.

Protozoa
: Disiapkan sebagai timbunan atau pulasan sementara yang diwarnai dengan larutan lugol ataupun diwarnai dengan metode haematoxylin besi Heidenhain atau Giemsa. Ciliata urceolariidae disiapkan sebagai pulasan kering-udara dan diwarnai dengan teknik peresapan perak Kleins.

Parasit helminthes
: yakni, monogenea dan acanthocephala dikumpulkan dalam garam fisiologis dan diawetkan di dalam AFA.

Parasit krustasea
: Dikumpulkan dan diawetkan di dalam formalin 10 % dan diamati di bawah sediaan asam laktat.

Air
: Sampel air paling baik dianalisa di lapangan dengan menggunakan alat-alat kimiawi (misal, Hach). Untuk pengujian laboratorium digunakan metode kimia standar lainnya.

Daya Patogen Beberapa Bakteri

Austin dan Austin (1999), berdasarkan laporan beberapa penelitian, mendaftar jenis-jenis bakteri patogen pada ikan di antaranya sebagai berikut :


- Eubacterium tarantellae : infeksi bakteri ini bisa melalui luka atau kerusakan jaringan ikan yang ditimbulkan oleh parasit, patogen lemah atau stres. Begitu memasuki jaringan tubuh, kerusakan lebih lanjut bisa terjadi akibat racun ekso- dan endotoksin. Bakteri anaerob ini menghasilkan hemolisin dan lesitinase, yang berbahaya bagi ikan.

- Carnobacterium piscicola : percobaan skala kecil telah dilakukan dengan ikan rainbow trout yang dipelihara dalam air tawar pada suhu 18 °C dan hasilnya menunjukkan bahwa kematian bisa terjadi dalam 14 hari setelah penyuntikan bakteri ini secara intraperitoneal (lewat-perut) sebanyak 105 sel/ikan. Ikan mati dan ikan sekarat memiliki ginjal yang membengkak dan menimbun cairan nanah di dalam rongga perut. Bagaimanapun, efek merugikan tidak terlihat setelah penyuntikan ekstrak bebas-bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa eksotoksin (racun luar) tidak berperanan penting dalam patogenisitas.

- Lactococcus garvieae : infeksi terjadi dengan penyuntikan 104 sampai 105 sel bakteri ini; juga terjadi setelah ikan dipaparkan selama 10 menit terhadap 106 bakteri ini. Penyakit kemudian menjadi makin parah hingga terjadi kematian. Beberapa ikan peka terhadap bakteri ini, misalnya trout yang bisa mengalami kematian masal, sedangkan ikan mujaer (Sarotherodon mossambicus), mujaer bergaris (Tilapia sparramanii), ikan mas (Cyprinus carpio) dan largemouth bass (Micropterus salmoides) tidak.

- Streptococcus milleri (G3K) : bakteri ini yang disuntikkan sebanyak 5 x 106 sel/ikan menyebabkan 20% mortalitas pada salmon Atlantik. Yang menarik, semua ikan menjadi berwarna gelap, namun tidak ada tanda-tanda ketidak normalan internal atau eksternal. Pada rainbow trout, ada bukti bahwa ginjalnya dipenuhi cairan.

- Vagococcus salmoninarum : infeksi bakteri ini dicapai dengan dosis yang agak tinggi, yaitu 1,8 x 106 sel/ikan pada rainbow trout.


- Bacillus sp : infeksi pada lele (Clarias gariepinus) telah dilakukan melalui mulut dan penyuntikan secara subcutaneous (bawah-kulit) dengan dosis yang agak rendah 0,5 ml, yang mengandung 1,8 x 103 sel/ml. Mortalitas sebesar 60 % dan 30 % terjadi selama periode 3 minggu untuk infeksi bakteri lewat mulut dan bawah-kulit, berturut-turut.
- Bacillus mycoides : penyuntikan bakteri ini sebanyak 1,6 x 104 sel secara intramuscullar (lewat-otot) menyebabkan kerusakan jaringan pada ikan channel catfish; kerusakan tersebut mirip dengan gejala penyakit yang asli. Penyuntikan bakteri secara intraperitoneal dan subcutaneous tidak mengakibatkan kerusakan jaringan pada ikan yang terinfeksi.

- Corynebacterium aquaticum : isolat bakteri dari ikan, RB 968 BA,membunuh rainbow trout dan ikan stripped bass dengan LD-50 (lethal dose; dosis mematikan) hasil perhitungan 5,8 x 104 dan 1,0 x 105, berturut-turut. Ikan yang diinfeksi secara eksperimental mengembangkan hemoragi (pendarahan) di dalam rongga tengkorak, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun gejala-gejala penyakit eksternal.

- Coryneform : sebagai hasil percobaan patogenisitas dengan ikan rainbow trout (berat rata-rata 8 gram) yang dipelihara dalam air tawar pada suhu 18 °C, telah diketahui bahwa 1,25 x 106 sel, yang diberikan melalui penyuntikan intraperitoneal, dapat membunuh ikan dalam beberapa hari.

- Micrococcus luteus : penyuntikan 105 sel, secara intramuscullar dan intraperitoneal, menyebabkan mortalitas 54 % pada anak rainbow trout dalam 14 hari.

- Mycobacterium spp. : hanya Mycobacterium chelonei subspesies piscarium yang telah dipelajari secara mendetail. Pada suhu air 12 °C, infeksi eksperimental telah dilakukan pada rainbow trout melalui penyuntikan secara intraperitoneal sebanyak kira-kira 107 sel. Mortalitas akumulatif berkisar dari 20 % sampai 52 %. Pada juvenil chinook salmon, 98 % mortalitas dilaporkan dalam 10 hari pada suhu air 18 °C.

- Nocardia spp. : infeksi eksperimental telah dilakukan pada ikan gabus Formosa (Chanos maculata) (catatan : yang benar di sini Chanos atau Channos ?) dan largemouth bass (Micropterus salmoides). Kerusakan jaringan yang diikuti kematian terjadi dalam 14 hari setelah penyuntikan 8 mg suspensi Nocardia asteroides secara intraperitoneal.

- Planococcus sp. : ikan, yang disuntik secara intraperitoneal dengan 105 sel tampak berenang tidak menentu dalam 48 jam. Pada saat itu, insangnya menjadi pucat, anus menjulur dan perut membengkak. Usus bengkak dan berdarah. Ginjal sedikit berair. Sekitar 30 – 40 % ikan yang terinfeksi mati.

Bakteri Pada Ikan Turbot Budidaya

Novoa et al. (1990) dalam Banning (1992) melaporkan bahwa perkembangan budidaya ikan turbot (Scophthalmus maximus L.) meningkat pesat di Galicia (Spanyol Barat-laut). Perkembangan ini diikuti oleh munculnya masalah patologis pada spesies ikan tesebut. Laporan pendahuluan hasil survei mikrobiologis pada budidaya ikan turbot menunjukkan bahwa bakteri yang sering diisolasi adalah dari genus Vibrio (Vibrio splendidus, Vibrio pelagius), dan yang kurang sering adalah dari genus Pseudomonas, Streptococcus serta Staphylococcus. Birnavirus (virus mirip-IPN) diisolasi hanya dari dua sampel. Flagelata Costia sp., ciliata Trichodina sp. dan Cryptocaryon sp., mikrosporidia Tetramicra brevifilum dan cacing cestoda Bothriocephalus scorpii semua jarang dijumpai.

Penyakit Ginjal Akibat Hafnia

Teshima et al. (1992) menemukan penyakit ginjal yang diakibatkan oleh infeksi alami bakteri Hafnia alvei pada juvenil umur setahun ikan cherry salmon Oncorhynchus masou yang dipelihara di kolam ikan lokal di Jepang. Dari luar, ikan yang sakit menunjukkan permukaan tubuh yang gelap dan perut membengkak, dan mereka berenang perlahan-lahan. Dari dalam tubuh, kerusakan jaringan dengan berbagai ukuran, yang tampak seperti benjolan putih keabuan, timbul pada sisi ventral ginjal; secara histopatologis gejala-gejala ini mirip dengan gejala “bacterial kidney disease” (penyakit ginjal bakterial) yang diakibatkat oleh bakteri Renibacterium salmoninarum. Patologi ginjal secara eksperimental bisa ditimbulkan kembali dengan isolat murni Hafnia alvei yang diambil dari luka-luka pada ginjal ikan yang terinfeksi alami. Periode inkubasi penyakit ini pada ikan cherry salmon muda adalah sekitar 3 bulan setelah penyuntikan intraperitoneal tunggal. Penyakit ini, bagaimanapun, bisa muncul lebih cepat sejalan dengan peningkatan frekuensi penyuntikan isolat bakteri.

Mycobacterium Pada Ikan

Lansdell et al. (1993) mengamati spesies-spesies bakteri Mycobacterium pada ikan. Beberapa spesies ikan laut yang ditangkap dari alam liar dan ikan hias air tawar digunakan dalam studi ini. Organ-organ yang diinfeksi (hati, limfa, dan ginjal) disampling untuk menemukan mycobakteria. Sampel jaringan yang telah didekontaminasi diletakan pada media selektif untuk mencari mycobakteria. Setelah isolasi awal, teknik fluoresensi dan penodaan asam-cepat digunakan untuk mengidentifikasi bakteri sampai ke genus. Profil karakteristik pertumbuhan biokimia dipakai untuk menidentifikasi lebih lanjut isolat tersebut sampai ke spesies. Lima spesies Mycobacterium telah diidentifikasi : Mycobacterium simiae, Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium marinum, Mycobacterium chelonae dan Mycobacterium fortuitum. Di antara mereka Mycobacterium simiae dan Mycobacterium scrofulaceum belum pernah dilaporkan ditemukan pada ikan.

Bab IV
Bakteri Vibrio dan Vibriosis


Morfologi Vibrio

Colwell dan Grimes (1984) menyatakan bahwa semua anggota genus Vibrio adalah bakteri batang gram negatif dengan ukuran beragam dan morfologinya bervariasi mulai dari bentuk coccobacilli sampai sel berbentuk batang yang jelas dan beberapa di antaranya, yaitu vibrioid, berbentuk kurva. Pada kondisi kekurangan nutrisi atau di lingkungan alam, termasuk di estuaria dan samudra, bila terjadi kondisi oligotrophic (kurang subur), Vibrio bisa muncul dalam bentuk bola-bola kecil, yang menunjukkan strategi untuk bertahan hidup. Vibrio spp. bergerak dengan bantuan flagela-kutub yang berselubung : satu atau beberapa flagela (bulu cambuk) terdapat di salah satu kutub sel bakteri tersebut. Beberapa spesies juga membentuk flagela-samping yang tak berselubung, ketika tumbuh pada media padat. Flagela-samping memainkan peranan untuk melekat pada permukaan dan mungkin juga untuk menggerombol.

Beberapa Vibrio spp. menyebabkan penyakit pada populasi ikan laut, baik liar maupun budidaya. Penyakit yang paling umum, vibriosis, disebabkan oleh Vibrio anguillarum. Bagaimanapun, intensitas budidaya laut yang makin meningkat ditambah dengan sistematika bakteri yang terus disempurnakan menyebabkan daftar Vibrio spp. yang menyebabkab penyakit menjadi bertambah. Sindrom penyakit yang diberi istilah vibriosis juga dinamakan “luka merah”, “red pest”, “bintik merah” dan “penyakit merah” berdasarkan karakteristik luka pada kulit dan berdarah. Penyakit ini dikenal sejak tahun 1718 di Italia (Colwell dan Grimes, 1984).

Kepadatan Vibrio vulnificus di Dalam Air, Sedimen dan Usus Biota Estuaria

DePaola et al. (1994) menentukan kepadatan Vibrio vulnificus di dalam isi usus berbagai jenis ikan, oyster dan kepiting dan di dalam sedimen serta air di Gulf Coast, Amerika Serikat, dengan menggunakan prosedur most probable number (jumlah paling mungkin). Spesies Vibrio diidentifikasi dengan imunoesei enzim. Selama musim dingin, kepadatan Vibrio vulnificus adalah rendah, dan bakteri ini lebih banyak diisolasi dari ikan sheepshead dibandingkan dari sedimen dan air laut. Dari April sampai Oktober, kepadatan Vibrio vulnificus cukup lebih tinggi (2 sampai 5 log) pada ikan estuaria dibandingkan pada sedimen, air sekelilingnya ataupun pada oyster dan krustasea di dekatnya. Kepadatan tertinggi ditemukan dalam isi usus beberapa ikan pemakan-dasar (108/100 gram), terutama ikan yang memangsa moluska dan krustasea. Kepadatan Vibrio vulnificus pada ikan yang memakan terutama plankton dan ikan lain adalah sama dengan pada oyster, sedimen dan kepiting (105/100 gram). Vibrio vulnificus jarang ditemukan pada ikan lepas pantai. Keberadaan Vibrio vulnificus dengan kepadatan tinggi di dalam usus ikan-ikan yang biasa menghuni estuaria bisa memberikan dampak ekologis (pertumbuhan dan transport ikan) maupun dampak kesehatan masyarakat (makanan dan infeksi luka).

Vibriosis Pada Ikan Belanak dan Pengobatannya

Blanch dan Jofre (1992) melaporkan wabah vibriosis pada ikan belanak abu-abu keemasan (Mugil auratus). Ikan dipelihara di pembenihan yang terletak di Delta de l’Ebre (Catalonia, Spanyol). Vibrio anguillarum serotipe 01 telah diisolasi dari jaringan ginjal anterior ikan sakit. Uji patogenik menunjukkan adanya kemampuan menimbulkan sakit (virulensi) yang dimiliki galur Vibrio ini. Pengobatan ikan dengan nitrofurazone dengan cara ikan sakit dimandikan adalah efektif di pembenihan ini untuk mengendalikan wabah vibriosis tersebut.

Vibrio harveyi Penyebab Kematian Pada Ikan Acanthopagrus dan Epinephelus

Saeed (1995) mempelajari Vibrio sp. yang sering berhubungan dengan mortalitas dalam budidaya ikan bream Acanthopagrus cuvieri dan kerapu lumpur Epinephelus tauvina. Ikan bream mengalami infeksi Vibrio secara laboratorium hanya bila bakteri tersebut dimasukkan “intramuscular” (lewat-otot), sedangkan ikan kerapu lumpur mengalami infeksi baik melalui intramuscular maupun “intraperitoneal” (lewat perut). Isolat bakteri diidentifkasi sebagai Vibrio harveyi. Nilai LD50 (lethal doses; dosis mematikan) 5 hari untuk ikan bream adalah 4.9 ± 0,21 × 107 CFU (colony forming unit; unit pembentuk koloni), dan untuk kerapu 1,56 ± 0,19 x 109 CFU untuk intramuscular dan 1,59 ± 0,17 × 109 CFU untuk intraperitoneal. Pada ikan kerapu lumpur, bakteri Vibrio ditemukan paling banyak di limfa dan ginjal untuk infeksi intramuscular, sedang untuk infeksi intraperitoneal Vibrio paling banyak dijumpai di limfa, kemudian di ginjal dan hati. Ikan bream menimbun sejumlah besar bakteri di dalam otot pada lokasi penyuntikan dan sejumlah kecil pada organ dalam.

Berdasarkan nilai LD50 dan jumlah bakteri pada jaringan, Saeed (1995) menyimpulkan bahwa ikan bream lebih peka daripada ikan kerapu lumpur terhadap isolat bakteri ini bila diberikan lewat jalur intramuscular. Berdasarkan tingginya nilai LD50 untuk kedua spesies, tampak bahwa Vibrio harveyi seharusnya dianggap sebagai patogen opportunistic (menimbulkan penyakit ketika sistem kekebalan ikan lemah). Oksitetrasiklin yang ditambahkan ke dalam pakan berhasil menghentikan mortalitas pada ikan kerapu lumpur dari mana Vibrio harveyi diisolasi dalam jumlah melimpah dan dalam bentuk murni.

Kematian Masal Ikan dan Udang Laut Akibat Vibrio harveyi

Alvarez et al. (1998) melaporkan bahwa sejak tahun 1980, ikan belanak perak, Mugil curema, ikan Trachinotus carolinus L., Trachinotus falcatus L. dan udang penaeidae, yaitu Penaeus schmitti, P. (Litopenaeus) vannamei dan P. (Litopenaeus) stylirostris, yang dibudidayakan dan ditangkap di perairan Venezuela, mengalami serangan parah vibriosis yang menyebabkan penyakit “bacterial haemorrhagic septicaemia”. Pada mulanya diduga bahwa Vibrio anguillarum adalah agen penyebabnya, dengan pakan yang mengandung ikan Anchoa non-pasteurisasi dianggap sebagai sumber utama patogen tersebut. Bagaimanapun, sejak 1993, penelitian yang menjadi basis laporan ini menunjukkan bahwa mortalitas yang terjadi secara luas pada ikan dan udang penaeidae di Venezuela disebabkan oleh Vibrio harveyi.

Karakteristik Galur-Galur Vibrio Penyebab Penyakit Brown Ring

Castro et al., (1992) mempelajari beberapa karakteristik, yang mencakup biokimia, serologis, kekebalan terhadap obat dan profil plasmida, pada galur Vibrio yang diisolasi dari kerang Tapes philippinarum yang diserang penyakit “brown ring” (cincin coklat). Berdasarkan 36 uji standar fisiologis dan biokimiawi, semua galur yang diisolasi diinkubasikan di dalam genus Vibrio dan dibagi lebih lanjut menjadi 6 kelompok fisiologis. Galur-galur ini mirip dengan Vibrio pelagius dan Vibrio splendidus. Bagaimanapun, isolat dari setiap kelompok tidak menunjukkan reaksi-silang dengan antisera yang dibangkitkan untuk melawan beberapa galur rujukan dari berbagai spesies Vibrio, yang mencakup V. anguillarum, V. tubiashii, V. damsela, V. pelagius, V. splendidus dan spesies tak teridentifikasi Vibrio P1. Walaupun hanya 57,7 % dari galur yang diuji memiliki satu atau lebih plasmida, kebanyakan galur yang mengandung plasmida (93,3 %) mempunyai sebuah jalur plasmida besar 34,4 MDa. Sejumlah besar isolat, tanpa memandang kelompok taksonomiknya, adalah kebal terhadap antibiotik ampicillin dan erythromycin. Bagaimanapun, semua galur Vibrio peka terhadap kloramfenikol, tetrasiklin, gentamisin, nitrofurantoin, nalidixic acid dan trimethoprim sulphamethoxazole. Tidak ada korelasi antara kadar plasmida dan kekebalan terhadap obat.

Referensi :

Alvarez, J.D., B. Austin, A.M. Alvarez and H. Reyes. 1998. Vibrio harveyi : A Pathogen of Penaeid Shrimps and Fish in Venezuela. Journal of Fish Diseases, Vol. 21, pp. 313 - 316

Austin, B. and D.A. Austin. 1999. Bacterial Fish Pathogens : Disease of Farmed and Wild Fish. 3rd rev. ed. Praxis Publishing Ltd., Chichester, UK. 459 pp.

Blanch, A.R. and J.T. Jofre. 1992. Isolamento di Vibrio anguillarum Sierotipo 01 in un Focoialo di Vibriosis di Muggine Dorato (Mugil auratus) Nel Delta del Flume Ebre (Catalogna, Spagna). Bollettino Societa Italiana di Patologia Ittica, No. 9, pp. 17 – 23

Castro, D., E. Martinez-Manzanares, A. Luque, B. Fouz, M.A.Morinigo, J.J. Borrego and A.E. Toranzo. 1992. Characterization of Strains Related to Brown Ring Disease Outbreaks in Southwestern Spain. Disease of Aquatic Organism, Vol. 14, No. 3, pp. 229 – 236

Colwell, R.R. and D.J. Grimes. 1984. Vibrio Diseases of Marine Fish Populations. Helgoländer Meeresuntersuchungen, Vol. 37, Issue 1 - 4, pp. 265 - 287

Das, M.Kr. . Standardization of Methods for Diagnosis and Prevention of Epizootic Fish Diseases.

DePaola, A., G.M. Capers and D. Alexander. 1994. Densities of Vibrio vulnificus in The Intestines of Fish From the U.S. Gulf Coast. Applied Environmental Microbiology, Vol. 60, No. 3, pp. 984 – 988

Lansdell, W., B. Dixon, N. Smith and L. Benjamin. 1993. Isolation of Several Mycobacterium Species From Fish. Journal of Aquatic and Animal Health, vol. 5, no. 1, pp. 73 – 76, ISSN 0899-7659

Moss, B. 1980. Ecology of Freshwaters. Blackwell Scientific Publ. Oxford. 332 pp.

Novoa, B., S. Nunez, C. Fernandez-Puentes, A.J. Figueras and A.E. Toranzo. 1990. Epizootic Study in A Turbot Farm : Bacteriology, Virology, Parasitology and Histology in Banning, P. van (ed.). 1992. PAMAQ IV : Fourth International Colloquium on Pathology in Marine Aquaculture, pp. 253 – 258

Olthof, M. and J. Oleszkiewicz. 1982. Anaerobic Treatment of Industrial Wastewaters. Chemical Engineering, Nov. 15, 1982, pp. 121 - 126

Saeed, M.O. 1995. Association of Vibrio harveyi With Mortalities in Cultured Marine Fish in Kuwait. Aquaculture, Vol. 136, Issues 1 – 2, pp. 21 – 29

Simon, M. and Rosenstock, B. 1992. Carbon and Nitrogen Sources of Planktonic Bacteria in Lake Constance Studied by The Composition and Isotope Dilution of Intracellular Amino Acids. Limnology and Oceanography, Vol. 37, No 7, pp. 1496 - 1511

Teshima, C., S. Kudo, Y. Ohtani and A. Saito. 1992. Kidney Pathology From The Bacterium Hafnia alvei : Experimental Evidence. Transactions of American Fisheries Societies, vol. 121, no. 5, pp. 599 – 607, ISSN 0002-8487

Tidak ada komentar:

Posting Komentar