Kamis, 08 Februari 2018

Aspek Bakteriologi dan Kimiawi Pembusukan Ikan


Bab I
Pendugaan Kesegaran Ikan


Metode Pendugaan Kesegaran Ikan

Alasalvar et al. (2011) dalam Alasalvar et al. (2011) menyatakan bahwa kesegaran ikan merupakan faktor utama penentu kualitas produk makanan laut. Untuk semua jenis produk makanan laut, kesegaran adalah penting bagi kualitas produk akhir. Seringkali dikatakan bahwa tidak ada satu metode pun yang cukup memuaskan untuk menduga kesegaran dan kualitas produk makanan laut. Oleh karena itu, sejumlah metode subyektif (inderawi), obyektif (non inderawi) dan statistik telah disarankan untuk mengevaluasi kesegaran dan kualitas ikan. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Di antara semua metode instrumental yang telah dikembangkan dalam dekade terakhir ini, metode inderawi (sensory method) tetap menjadi cara yang paling memuaskan dalam menduga kesegaran ikan dan produk perikanan. Uji inderawi makanan laut obyektif, yang didasarkan pada sifat-sifat tertentu dari ikan mentah (kulit, mata, insang, teksur, dll.), adalah metode yang paling umum digunakan untuk menduga kualitas ikan mentah utuh.

Bagaimanapun, skema ini tidak bersifat universal dalam penerapannya, dan modifikasi diperlukan untuk memperbaiki keakuratan metode tersebut bagi setiap spesies binatang laut. Sebagai contoh, “Quality Index Method” (QIM; Metode Indeks Kualitas) telah disiapkan untuk menduga kesegaran ikan salmon Atlantik dan dikembangkan untuk berbagai spesies ikan Eropa yang umum. Bagaimanapun, penelitian lebih lanjut diperlukan guna mengevaluasi penerapan QIM untuk ikan yang ditangani, disimpan dan diolah di bawah kondisi yang berbeda. Inisiatif lebih lanjut adalah mengembangkan software untuk QIM dengan menggunakan terminal yang mudah-dibawa yang memungkinkan data bisa diinput secara elektronik selama pendugaan inderawi (Alasalvar et al., 2011, dalam Alasalvar et al., 2011).

Beberapa Metode Pendugaan Kualitas Kesegaran Ikan Yang Disimpan Dalam Es

Lougovois et al. (2003) memantau perubahan kualitas ikan gilthead sea bream (Sparus aurata) yang disimpan secara utuh dalam es; pemantauan dilakukan dengan mengevaluasi secara inderawi terhadap nilai k1, GR Torrymeter dan jumlah bakteri. Metode ini telah diuji kesesuaiannya dalam menentukan kualitas kesegaran dan sisa daya awet ikan di dalam es. Bergantung pada parameter yang diukur, umur post-mortem ikan es dapat diperkirakan dengan ketepatan ± 1,5 – 3,6 hari. Walaupun pendugaan flavour ikan masak merupakan dasar penentuan kondisi ikan, metode indeks kualitas bisa lebih efektif untuk evaluasi kesegaran rutin. Nilai k1 menyediakan cara yang berguna untuk memantau perubahan penyimpanan tahap awal, yang terutama disebabkan oleh reaksi autolisis. Jumlah bakteri penghasil sulfida bisa digunakan untuk menentukan waktu penolakan, sedangkan jumlah bakteri total pada suhu 20 oC merupakan ukuran yang buruk dalam menentukan kualitas kesegaran ikan. GR Torrymeter menyediakan alat praktis dan unik untuk menduga kualitas kesegaran dan sisa daya awet ikan gilthead sea bream yang disimpan dalam es.

Kelebihan dan Kelemahan GR Torrymeter Dalam Menduga Kesegaran Ikan

Sen (2005) membuat beberapa kesimpulan mengenai GR Torrymeter sebagai metode pendugaan kesegaran (kualitas) ikan :

a. Alat ini dengan cepat dan dapat-dipercaya menunjukkan kualitas kesegaran ikan basah tak-berlemak.

b. Untuk ikan dari daerah beriklim sedang ataupun daerah tropis dan ikan dengan kadar lemak tinggi, hasilnya bervariasi dan kurang dapat-dipercaya karena lemak dalam tubuh ikan berpengaruh terhadap sifat-sifat dielektrik.

c. Penggunaan GR Torrymeter untuk spesies ikan tropis menunjukkan bahwa alat ini bisa berhasil digunakan pada banyak spesies ikan dalam menduga kualitas kesegarannya.

d. Fillet berkulit memberikan pembacaan meter yang sama seperti ikan utuh.

e. Fillet tanpa kulit memberikan pembacaan yang berbeda dengan hasil pada ikan utuh untuk derajat kesegaran yang sama karena sifat-sfiat dielektrik kulit dan otot berbeda.

f. Pembekuan mengubah struktur otot ikan sehingga hasil yang memuaskan tidak dapat diperoleh untuk ikan beku atau ikan beku yang dicairkan, baik untuk filet maupun dagingnya. Juga, alat ini tidak dapat digunakan untuk ikan yang memar dan ikan yang mengalami kerusakan mekanis, dan

g. Pembacaan untuk satu sampel ikan tidak bisa dijadikan ukuran kesegaran ikan dan karena itu adalah penting untuk menguji beberapa ikan guna memperoleh nilai rata-rata ukuran kesegarannya sebagai satu kelompok.

Metode Pendugaan Kesegaran Ikan Teri Mentah dan Masak

Pons-Sánchez-Cascado et al. (2006) mengembangkan sebuah metode indeks kualitas dan skema inderawi untuk menduga kesegaran ikan teri Mediterania (Engraulis encrasicholus) mentah dan masak, berturut-turut. Ikan teri segar disimpan dalam es selama 7 hari dalam tiga percobaan. Perubahan tanda-tanda inderawi menunjukkan korelasi yang kuat dengan lama penyimpanan.

Enterobacteria adalah mikroorganisme pertama yang jumlahnya melebihi batas maksimum yang diijinkan untuk ikan yang boleh dipasarkan menurut undang-undang Spanyol; bakteri ini mencapai jumlah lebih dari seribu unit pembentuk koloni per gram setelah penyimpanan 5 hari. Kurva nilai-nilai inderawi pada ikan teri mentah dan masak untuk jumlah Enterobacteria dipakai dalam menentukan kesesuaian metode ini. Daerah di bawah kurva memberikan hasil yang memuaskan bahwa metode tersebut bisa digunakan untuk menentukan kesegaran ikan teri yang disimpan dalam es, dengan nilai-nilai penolakan produk diduga berkisar dari 0,43 sampai 0,51 dan dari 6,6 sampai 7,1 untuk ikan teri mentah dan masak, berturut-turut (Pons-Sánchez-Cascado et al., 2006).

Sensor Mikroba Untuk Menentukan Kesegaran Ikan

Watanabe et al. (1987) menyiapkan sebuah metode baru untuk menentukan kesegaran ikan berupa sistem sensor mikroba yang terdiri dari sebuah elektroda oksigen dan Alteromonas putrefaciens, yaitu bakteri penyebab pembusukan yang telah dilumpuhkan dalam kondisi hidup. Sistem sensor ini kemudian digunakan untuk menentukan secara terus-menerus kesegaran ikan. Kesegaran ikan dinyatakan sebagai perbandingan A/B, di mana A adalah penurunan sensor mikroba yang sedang berlangsung yang diperoleh dengan memberikan 10 – 50 mikro liter ekstrak ikan, sedang B adalah penurunan volume ekuivalen medium kultur yang sedang berlangsung. Kesegaran daging ikan tuna sirip biru dan ikan ekor kuning yang disimpan dalam es sampai selama 2 minggu ditentukan baik dengan metode ini maupun dengan metode sensor enzim nilai K konvensional. Kedua metode memberikan hasil yang sama. Metode ini bisa diselesaikan hanya dalam waktu 13 menit.

pH Permukaan Daging Ikan Sebagai Indikator Kesegaran Ikan

Elliott (1947) menyatakan bahwa uji organoleptik sebagai kriteria untuk menentukan kesegaran ikan adalah sangat tidak akurat. Untuk itu perlu dikembangkan uji obyektif yang memenuhi persyaratan sederhana, cepat, murah dan tidak memotong sampel ikan yang menyebabkan sampel tersebut tidak bisa dijual. Bila pH daging ikan dapat dihubungkan dengan kesegaran ikan, maka uji ini akan sangat memenuhi persyaratan sebagai uji yang ideal. Penentuan pH yang melibatkan pH meter adalah sederhana, cepat dan akurat, namun tidak merusak sampel. Uji terhadap permukaan daging ikan adalah jauh lebih menyenangkan daripada uji terhadap sampel campuran yang terdiri dari daging permukaan dan daging bagian dalam. Hal ini disebabkan fakta bahwa pembusukan jauh lebih cepat berlangsung di permukaan daripada di bagian dalam daging ikan. Oleh karena itu disarankan untuk menggunakan pH permukaan daging ikan sebagai indeks kesegaran. Uji seperti ini adalah masuk akal karena nilai pH daging bagian dalam, atau sampel campuran, bukanlah indikator yang peka untuk kesegaran ikan.

Bab II
Aspek Bakteriologi Pembusukan Ikan


Karakteristik Lendir Ikan Menentukan Jenis Bakteri Pembusuk

Menurut Sen (2005) ikan mempunyai beberapa faktor intrinsik penting yang membuatnya berbeda dengan banyak makanan hewani asal-darat dan yang sangat mempengaruhi karakteristik mikrobiologinya. Banyak di antara faktor-faktor tersebut menyebabkan ikan sangat mudah diserang bakteri. Dibandingkan dengan binatang darat, ikan lebih mudah diserang oleh mikroorganisme pembusuk. Flora bakteri yang menyerang ikan selama periode pasca kematian dan menyebabkan pembusukan adalah berhubungan dengan lingkungannya (air, tanah dan udara). Bukti-bukti menunjukkan bahwa karakteristik lendir pada tubuh ikan dan insang bertanggung jawab atas sangat beragamnya flora mikroba baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Demikianlah, flora pada ikan cucut India tidak menunjukkan adanya Pseudomonas spp. walaupun bakteri ini melimpah di dalam air laut. Flora ikan teleostei Australia dicirikan oleh banyaknya bakteri Micrococci sedang flora elasmobranchii dicirikan oleh Coryneform. Hal ini disebabkan oleh efek spesies yang berkaitan dengan karakteristik dan komposisi substrat lendir yang berbeda antar spesies.

Bakteri Penyebab Pembusukan Ikan dan Produk Perikanan

Gram dan Huss (1996) menyatakan bahwa pembusukan ikan segar dan produk ikan awetan disebabkan oleh aksi mikroba. Shewanella putrefaciens dan Pseudomonas spp. merupakan bakteri pembusuk khusus pada ikan yang diawetkan dengan es tanpa memperhatikan asal ikan. Ikan laut yang disimpan dalam atmosfer termodifikasi yang berasal dari perairan daerah beriklim-sedang dibusukkan oleh Photobacterium phosphoreum yang kebal-CO2 sedangkan bakteri Gram-positif mungkin merupakan pembusuk pada ikan kemasan CO2 yang berasal dari ikan segar atau ikan perairan tropis. Produk ikan dengan kandungan garam yang tinggi mungkin bisa membusuk akibat pertumbuhan bakteri halofil (pada ikan asin) atau akibat pertumbuhan bakteri anaerob dan ragi (pada ikan yang diasinkan dalam tong). Disimpulkan bahwa pembusukan mungkin disebabkan oleh bakteri asam laktat, bakteri psikrotrofik Enterobacteriaceae dan/atau Photobacterium phosphoreum.

Pseudomonas Sebagai Bakteri Pembusuk Ikan Yang Dominan

Gillespie dan Macrae (1975) menentukan flora bakteri secara kualitatif dan kuantitatif dari sampel yang diambil pada berbagai tahap penanganan beberapa spesies ikan komersial penting di Queensland. Terjadi peningkatan jumlah bakteri secara keseluruhan selama proses penanganan dan pengolahan; baik komposisi maupun kuantitas flora bakteri dari sampel individual yang diambil pada setiap tahap penanganan adalah sangat bervariasi. Anggota-anggita genus Micrococcus membentuk bagian utama flora bakteri pada ikan yang baru ditangkap. Pseudomonas dan Moraxella spp. dominan di antara flora bakteri yang dapat tumbuh pada suhu 2 °C dan menyumbangkan sebagian besar populasi dalam sampel dengan jumlah bakteri yang banyak. Populasi bakteri psikrofil (bakteri yang tumbuh paling baik pada suhu mendekati titik beku) sangat berkurang pada tahap pemfiletan. Medium yang dibuat dengan penambahan tripsin pada homogenat otot ikan digunakan untuk menguji kemampuan isolat bakteri dalam memproduksi bau. Empat puluh tiga persen isolat pseudomonad memproduksi senyawa-senyawa bau sulfhidril pada suhu 5 °C. Hanya sebagian kecil bakteri dari kelompok lain yang menghasilkan bau yang dapat dideteksi. Anggota-anggota genus Pseudomonas diangap sebagai bakteri pembusuk ikan paling penting pada kondisi yang ada di Queensland.

Interaksi Di Antara Bakteri Pembusuk, Pseudomonas dan Shewanella

Gram dan Melchiorsen (1996) meneliti interaksi di antara bakteri-bakteri pembusuk ikan, Pseudomonas sp. dan Shewanella putrefaciens, dengan menggunakan ekstrak ikan dan jaringan ikan sebagai sistem model. Isolat Pseudomonas yang memproduksi senyawa chelator besi, yaitu siderophore, menghambat pertumbuhan S. putrefaciens di dalam medium agar-agar ekstrak ikan, tetapi aktivitas antagonis tidak ada, atau hanya lemah, bila medium ditambah dengan besi. Cairan filter-steril supernatan (cairan di lapisan teratas hasil sentrifugasi) dari Pseudomonas penghasil-siderophore yang tumbuh dalam ekstrak ikan bersifat menghambat S. putrefaciens bila jumlah Pseudomonas melebihi 108 cfu/ml. Sebaliknya, cairan supernatan dari isolat Pseudomonas yang tidak memproduksi siderophore tidak menghambat pertumbuhan Shewanella putrefaciens. Efek penghambatan, kecuali untuk satu galur Pseudomonas, tidak terlihat dalam cairan supernatan dari kultur Pseudomonas sp. yang medianya diperkaya dengan besi. Terakhir, Pseudomonas penghasil-siderophore menyebabkan penurunan jumlah maksimum sel Shewanella putrefaciens 1 - 2 satuan log dari 109 menjadi 1010 cfu/g bila galur-galur ini ditumbuhkan dalam blok otot ikan pada suhu 0 °C tetapi laju pertumbuhan Shewanella putrefaciens tidak terpengaruh.

Bakteri Pembusuk Pada Ikan

Gram et al. (2002) menyatakan bahwa pembusukan makanan merupakan proses yang komplek dan sangat banyak makanan menjadi rusak karena pembusukan oleh bakteri meskipun menggunakan teknik-teknik pengawetan yang modern. Walaupun sangat banyak jenis bahan mentah dan kondisi pengolahan, namun mikroflora yang berkembang selama penyimpanan dan yang berkembang dalam makanan busuk dapat diduga berdasarkan pengetahuan mengenai asal makanan, substrat dasar dan beberapa parameter utama pengawetan seperti suhu, atmosfer, aw dan pH. Berdasarkan pengetahuan ini, analisis inderawi, kimiawi dan mikrobiologi yang lebih detail dapat dilakukan pada produk individual untuk menentukan organisme pembusuk spesifik yang aktual. Sementara parameter-parameter kimia dan fisika merupakan faktor-faktor utama yang menentukan jenis-jenis mikroorganisme pembusuk, kondisi yang lebih komplek mungkin ditemukan pada beberapa produk di mana perilaku interaktif mikroorganisme berperanan dalam pertumbuhan dan/atau aktivitas pembusukan mereka. Kondisi-kondisi tersebut di antaranya adalah fakta bahwa Pseudomonas spp. menunjukkan keunggulan kompetitif akibat produksi siderophore yang merupakan senyawa chelator besi, produksi senyawa oleh suatu organisme yang merupakan substrat bagi reaksi pembusukan oleh mikroorganisme lain (suatu proses yang disebut metabiosis) dan pengaturan sifat-sifat fenotipe yang mungkin terlibat dalam pembusukan melalui komunikasi dari sel ke sel. Selain itu juga dilaporkan adanya senyawa "N-acyl homoserine lactone" (AHL) di dalam bahan makanan yang disimpan dan yang busuk.

Pengaruh Suhu Terhadap Jenis Bakteri Pembusuk

Sen (2005) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai pengaruh suhu terhadap jenis bakteri pembusuk ikan. Suhu penyimpanan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan jenis bakteri pembusuk. Sebuah studi telah dilakukan untuk mengetahui kemampuan pembusukan bakteri laut yang diisolasi dari ikan tropis yaitu lemuru (Sardinella longiceps), kembung (Rastrelliger kanagurta) dan udang Penaeus indicus pada suhu 28 ± 1 °C, 8 ± 1 °C dan 1 ± 1 °C. Pada suhu sekitar 28 °C kebanyakan bakteri adalah Pseudomonas spp., Vibrio spp., Moraxella spp., Acinetobacter spp., Flavobacteria, Cytophaga spp., Micrococcus spp., Arthrobacter spp. dan Alcaligenes spp. yang dapat membusukkan otot ikan. Pada suhu 1 ± 1 °C, sebagian besar bakteri pembusuk adalah galur-galur Pseudomonas grup II, III dan IV sementara kurang dari 25 % adalah galur Pseudomonas grup I, Vibrio, Moraxella, Acinetobacter dan tidak ada Flavobacteria, Cytophaga, Micrococcus, Arthrobacter dan Alcaligenes. Karakteristik psikrofilik (tumbuh paling baik pada suhu mendekati titik beku) pada banyak galur Pseudomonas yang diisolasi dari ikan dan udang tropis telah dilaporkan oleh banyak peneliti.

Bakteri Pembusuk Pada Suhu Rendah dan Suhu Tinggi

Gram et al. (1987) meneliti kemampuan pembusukan pada 309 galur bakteri yang diisolasi dari ikan busuk pada suhu 0 dan 20 °C. Bakteri Gram negatif, non fermentatif, berbentuk batang dan dapat bergerak yang untuk sementara diidentifikasi sebagai Alteromonas merupakan organisme pembusuk utama pada suhu 0 °C. Bakteri ini juga ditemukan pada suhu 20 °C, tetapi sejumlah besar bakteri gram negatif, fermentatif, berbentuk batang dan dapat bergerak yang tergolong Vibrionaceae juga diidentifikasi sebagai organisme pembusuk pada suhu tersebut. Kebanyakan Vibrionaceae, bagaimanapun, tidak memproduksi hidrogen sulfida dari tio sulfat tetapi hanya dari asam amino yang bersulfur, L-sistein.

Bakteri Pembusuk Ikan Pada Daerah Beriklim Sedang dan Tropis

Menurut Sen (2005) semula disimpulkan bahwa flora bakteri pada ikan dan krustasea laut dari daerah beriklim sedang dan dingin kebanyakan termasuk genera Gram negatif sedangkan pada spesies tropis didominasi oleh bakteri Gram positif. Penelitian terbaru mengenai bakteriologi ikan laut India menunjukkan adanya mikroflora Gram negatif (Pseudomonas, Acinetobacter, Flavobacterium, Moraxella dan Vibrio) dalam jumlah yang dominan. Tampaknya tidak ada perbedaan antara genus-genus mikroflora ikan antara perairan daerah sedang dan daerah tropis. Juga disimpulkan bahwa flora bakteri ikan tropis sangat mirip dengan flora bakteri spesies perairan dingin kecuali bahwa flora Gram positif sedikit lebih banyak pada spesies tropis. Studi terbaru terhadap bakteri ikan laut India selalu menunjukkan adanya Achromobacter (baru-baru ini diidentifikasi sebagai Moraxella dan Acinetobacter), Flavobacter, Pseudomonas dan Vibrio sebagai komponen utama flora bakteri. Achromobacter atau Flavobacter dominan pada pembusukan tahap awal, sedangkan Pseudomonas selalu mendominasi pada saat pembusukan tahap akhir. Sen (2005), berdasarkan hasil-hasil studi peneliti lain, melaporkan bahwa berbagai bagian tubuh ikan seperti lendir, insang, usus, tubuh tanpa-usus pada ikan kembung India (Rastrelliger kanagurta) dari Laut Arab di lepas pantai Calicut, India, mengandung berbagai galur mikroorganisme terutama genus Micrococcus, Acinetobacter, Flavobacterium dan Bacillus pembentuk-spora. Kebanyakan galur ini ditemukan pada insang; mikroorganisme pada lendir terutama adalah bakteri pembentuk spora. Sebuah penelitian mengenai pembusukan pada beberapa spesies ikan India selama penyimpanan pada suhu 3 °C dan 0  °C menemukan bahwa sementara Bacillus mendominasi flora pada ikan yang baru ditangkap, Pseudomonas dan Achromobacter menyumbangkan persentase yang tinggi flora mikroba selama pembusukan.

Bab III
Aspek Kimia Pembusukan Ikan


Alat Sensor Pemantau Pembusukan Ikan

Pacquit et al. (2006) menjelaskan mengenai sebuah alat sensor, yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi “chemical barcode”, guna memantau kesegaran ikan setiap saat. Sensor ini mengandung zat warna yang peka terhadap pH, yaitu “bromocresol green”, yang memberikan respon melalui perubahan warna-tampak terhadap senyawa-senyawa pembusukan mudah-menguap, seperti trimetilamin (TMA), amonia (NH3) dan dimetilamin (DMA), yang secara kolektif dikenal sebagai “Total Volatile Basic Nitrogen (TVB-N)”. Karakteristik sensor ini telah dipelajari, juga responnya dengan gas amonia. Uji coba terhadap ikan cod dan spesies ikan yang kurang dimanfaatkan membuktikan bahwa respon sensor berkorelasi dengan pola pertumbuhan bakteri dalam sampel ikan sehingga memungkinkan pemantauan pembusukan secara “real-time” pada berbagai spesies ikan. Respon sensor dapat diketahui dengan alat kolorimeter pemantulan-cahaya yang murah dan sederhana yang telah dikembangkan berdasarkan dua “light emitting diode” (LED) dan detektor cahaya.

Pacquit et al. (2007) melaporkan bahwa industri perikanan sangat tertarik dalam mengembangkan metode cepat untuk mengevaluasi kesegaran ikan dan produk makanan laut secara “real-time”. Salah satu metode tersebut adalah “smart packaging” (pengemasan cerdas) yang bisa memantau produk-produk penguraian mikroba dalam ikan kemasan. Ketika ikan membusuk, maka dilepaskan berbagai senyawa “basic volatile amine” yang dapat dideteksi oleh sensor pH. Alat ini memiliki wadah polimer yang di dalamnya terdapat zat warna peka-pH yang berespon, melalui perubahan warna-tampak, terhadap senyawa-senyawa “volatile” (mudah menguap) hasil pembusukan yang secara umum disebut “total volatile basic nitrogen” (TVB-N). Uji laboratorium terhadap filet ikan segar menunjukkan bahwa sensor tersebut secara akurat mendeteksi peningkatan konsentrasi senyawa amina di dalam kemasan. Respon ini ternyata berkorelasi dengan perubahan populasi mikroba (“total viable count” atau TVC dan Pseudomonas spp.). Selain itu, kebocoran zat warna telah diamati sepanjang waktu untuk mengevaluasi kelayakan formula sensor bagi makanan kemasan.

Pembusukan Cairan Ikan

Beatty dan Collins (1939) mempelajari proses kimia selama pembusukan cairan yang keluar akibat penekanan daging ikan cod. Perubahan autolisis (perusakan sel oleh enzim milik sendiri) dalam cairan daging ikan cod bisa diabaikan bila dibandingkan dengan perubahan akibat bakteri yang mengkontaminasi cairan tersebut. Selama pembusukan awal, sebagian besar bakteri yang beraksi terhadap cairan ikan adalah disebabkan oleh pertumbuhan anaerob. Kemudian, ketika cairan benar-benar membusuk, oksidasi aerob diduga merupakan proses yang utama bila ada udara. Pembusukan cairan ikan laut selalu terjadi dalam dua tahap tanpa pengaruh ketersediaan udara, pertama adalah oksidasi asam laktat dan gula; tahap kedua adalah oksidasi asam-asam amino dan hidrolisis protein. Tahap kedua merupakan pembusukan tingkat lanjut. Karena produksi trimetilamin terjadi terutama selama tahap pertama, senyawa ini bisa menjadi indikator yang tepat untuk mengetahui kemungkinan terbentuknya senyawa-senyawa beracun akibat penguraian protein dan asam amino.

Peranan Amina Biogenik Dalam Pembusukan Ikan

Al Bulushi et al. (2009) melaporkan bahwa amina biogenik merupakan senyawa non volatil yang dibentuk oleh proses dekarboksilasi asam-asam amino. Walaupun banyak amina biogenik telah ditemukan dalam ikan, hanya histamin, cadaverin dan putrescin yang penting dalam penentuan kualitas dan keamanan ikan. Banyak laporan mengenai hubungan antara histamin dan keracunan ikan scombroid, namun histamin saja tampaknya tidak cukup untuk menyebabkan keracunan makanan. Putrescin dan cadaverin diduga berpotensi mendorong timbulnya keracunan histamin. Dengan memperhatikan pembusukan pada sisi lain, hanya cadaverin yang bisa menjadi indeks yang berguna untuk mengetahui tahap awal pembusukan ikan. Hubungan antara amina biogenik, evaluasi inderawi, dan trimetilamin selama pembusukan dipengaruhi oleh komposisi bakteri dan konsentrasi asam amino bebas. Jumlah bakteri mesofil sebanyak log 6–7 cfu/g ternyata berasosiasi dengan 5 mg histamin/100 g ikan, yaitu batas histamin maksimum yang diijinkan oleh Food and Drug Administration (FDA). Studi in vitro menunjukkan keterlibatan cadaverin dan putrescin dalam pembentukan nitrosamine, nitrosopiperidine (NPIP) dan nitrosopyrrolidine (NPYR), berturut-turut. Selain itu, garam tak murni, suhu tinggi, dan pH rendah mendorong pembentukan nitrosamine, sedangkan natrium klorida murni menghambat pembentukan senyawa tersebut. Memahami hubungan antara senyawa-senyawa amina biogenik dan keterlibatannya dalam pembentukan nitrosamin dapat menjelaskan mekanisme keracunan ikan scombroid dan menjamin keamanan banyak produk perikanan.

Laju Pembusukan Filet, Ikan Utuh Dengan Isi Perut dan Ikan Utuh Tanpa Isi Perut

Fernandez-Salguero dan Mackie (1987) menentukan konsentrasi senyawa volatil (mudah menguap) dan non volatil yang terbentuk dalam ikan hering (Clupea harengus) dan haddock (Melanogrammus aeglefinus) selama penyimpanan sebagai filet dan sebagai ikan utuh dalam es dan pada suhu 5 °C. Perbandingan laju pembentukan senyawa-senyawa amina non volatil utama (histamin, cadaverine dan putrescine) dan trimetilamin menunjukkan bahwa filet ikan haddock membusuk lebih cepat daripada ikan utuhnya yang isi perutnya sudah dibuang, dan bahwa ikan hering yang isi perutnya tidak dibuang membusuk lebih cepat daripada filetnya.

Pola Musiman Pembusukan Ikan Yang Disimpan Dalam ES

Grigorakis et al. (2003) melaporkan bahwa ikan sea bream (Sparus aurata) hasil budidaya karamba dari perairan laut Yunani telah disampling pada bulan Januari dan Agustus untuk mengetahui beberapa indikator pembusukan kimiawi dan mikrobiologi selama disimpan 15 hari di dalam es. Ikan musim dingin mencapai populasi mikroba yang lebih banyak (109 dibandingkan 107 untuk ikan musim panas) pada akhir periode penyimpanan. Nilai pH menunjukkan peningkatan setelah 8 hari penyimpanan. TVBN meningkat sedikit dan seragam. Katabolisme adenin nukleotida menunjukkan lambatnya laju dekomposisi “inosine monophosphate” dan akumulasi hipoksantin. Nilai K ikan musim panas pada awalnya lebih tinggi daripada nilai K ikan yang disampling pada musim dingin pada tahap-tahap awal penyimpanan, tetapi lebih rendah pada tahap-tahap akhir ketika pembusukan oleh mikroba terjadi. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan musim panas memiliki tingkat aktivitas autolisis yang lebih tinggi tetapi laju pembusukan oleh mikroba lebih rendah.

Referensi :

Al Bulushi, I., S. Poole, H.C. Deeth and G.A. Dykes. 2009. Biogenic Amines in Fish: Roles in Intoxication, Spoilage, and Nitrosamine Formation—A Review, Critical Reviews in Food Science and Nutrition, Vol. 49, Issue 4, pp. 369 - 377

Alasalvar, C., J.M. Grigor and Z. Ali. 2011. Practical Evaluation of Fish Quality by Objective, Subjective, and Statistical Testing in Alasalvar, C., K. Miyashita, F. Shahidi, U. Wanasundara. 2011. Handbook of Seafood Quality, Safety and Health Applications. John Wiley & Sons. New York. 576 pp.

Beatty, S.A. and V.K. Collins. 1939. Studies of Fish Spoilage: VI. The Breakdown of Carbohydrates, Proteins and Amino Acids During Spoilage of Cod Muscle Press Juice, Journal of the Fisheries Research Board of Canada, vol. 4b, no. 5, pp. 412 - 423

Elliott, R. P. 1947. Evaluation of Surface pH as a Freshness Index for Fish Fillets. Journal of Food Science, Vol. 12, issue 2, pp. 87 – 98

Fernandez-Salguero, J. and I.M. Mackie. 1987. Comparative Rates of Spoilage of Fillets and Whole Fish During Storage of Haddock (Melanogrammus aeglefinus) and Herring (Clupea harengus) as Determined By The Formation of Non-Volatile and Volatile Amines. International Journal of Food Science & Technology, vol. 22, issue 4, pp. 385 – 390

Gillespie, N.C. and I.C. Macrae. 1975. The Bacterial Flora of Some Queensland Fish and Its Ability to Cause Spoilage. Journal of Applied Microbiology, Vol. 39, issue 2, pp. 91 – 100

Gram, L. and H.H. Huss. 1996. Microbiological Spoilage of Fish and Fish Products. International Journal of Food Microbiology, Vol. 33, Issue 1, pp. 121 – 137

Gram, L. and Melchiorsen, J. 1996. Interaction Between Fish Spoilage Bacteria Pseudomonas sp. and Shewanella putrefaciens in Fish Extracts and on Fish Tissue. Journal of Applied Microbiology, Vol. 80, Issue 6, pp. 589 – 595

Gram, L., L. Ravn, M. Rasch, J.B. Bruhn, A.B. Christensen and M. Givskov. 2002. Food Spoilage — Interactions Between Food Spoilage Bacteria. International Journal of Food Microbiology, Vol. 78, Issues 1 – 2, pp. 79 – 97

Gram, L., G. Trolle and H.H. Huss. 1987. Detection of Specific Spoilage Bacteria From Fish Stored at Low (0 °C) and High (20 °C) Temperatures, International Journal of Food Microbiology, Vol. 4, Issue 1, pp. 65 – 72

Grigorakis, K., K.D.A. Taylor and M.N. Alexis. 2003. Seasonal Patterns of Spoilage of Ice-Stored Cultured Gilthead Sea Bream (Sparus aurata), Food Chemistry, Vol. 81, Issue 2, pp. 263 – 268

Lougovois, V.P., E.R. Kyranas and V.R. Kyrana. 2003. Comparison of Selected Methods of Assessing Freshness Quality and Remaining Storage Life of Iced Gilthead Sea Bream (Sparus aurata), Food Research International, Vol. 36, Issue 6, pp. 551 – 560

Pacquit, P., K.T. Lau, H. McLaughlin, J. Frisby, B. Quilty and D. Diamond. 2006. Development of a Volatile Amine Sensor for The Monitoring of Fishspoilage. Talanta, Vol. 69, Issue 2, pp. 515 – 520

Pacquit, A., J. Frisby, D. Diamond, K.T. Lau, A. Farrell, B. Quilty and D. Diamond. 2007. Development of A Smart Packaging for The Monitoring of Fishspoilage, Food Chemistry, Vol. 102, Issue 2, pp. 466 – 470

Pons-Sánchez-Cascado, S., M.C. Vidal-Carou, M.L. Nunes and M.T. Veciana-Nogués. 2006. Sensory Analysis to Assess The Freshness of Mediterranean Anchovies (Engraulis encrasicholus) Stored in Ice. Food Control, Vol. 17, Issue 7, pp. 564 – 569

Sen, D.P. 2005. Advances in Fish Processing Technology. Allied Publisher Pvt. Ltd. New Delhi, India. 823 pp.

Watanabe, E., A. Nagumo, M. Hoshi, S. Konagaya and M. Tanaka. 1987. Microbial Sensors for the Detection of Fish Freshness, Journal of Food Science, Vol.52, Issue 3, pp. 592 – 595

Tidak ada komentar:

Posting Komentar