Kamis, 01 Februari 2018

Kultur Plankton dan Pemanfaatannya


Bab I
Kultur Plankton :
Perbaikan Teknik Untuk Meningkatkan Kualitas dan Hasil


Kultur Alga Bersel Satu, Chlorococcum littorale, Dengan Kepadatan Sangat Tinggi

Hu et al. (1998) melaporkan bahwa untuk menguji kelayakan pemulihan CO2 dengan fotosintesis mikroalga, sebuah modifikasi bioreaktor tipe lempeng-datar telah dirancang untuk kultur alga hijau biru bersel satu yang toleran CO2 berkadar tinggi, yakni Chlorococcum littorale. Reaktor modifikasi ini memiliki sebuah jalur agak sempit di mana arus turbulen intensif yang ditimbulkan oleh arus udara terpadatkan mengalir melalui pipa berlubang-lubang ke dalam media kultur. Panjang jalur tersebut dioptimalkan agar menghasilkan produktivitas biomas yang tinggi. Saling-kaitan antara kepadatan sel dan produktivitas yang dipengaruhi oleh intensitas cahaya, diduga secara kuantitatif. Perubahan ultrastruktur dan biokimia sel sebagai respon terhadap kepadatan sel yang sangat tinggi diteliti. Potensi produksi biomas pada konsentrasi CO2 yang sangat tinggi juga dievaluasi. Dengan menumbuhkan sel-sel Chlorococcum littorale dalam reaktor ini, laju fiksasi CO2 sebesar 16,7 gram CO2/liter/24 jam (atau 200,4 gram CO2/m2/24 jam) dapat dengan mudah dipertahankan pada intensitas cahaya 2000 mikromol/m2/detik pada suhu 25 °C, dan kepadatan sel yang sangat tinggi, lebih dari 80 gram/liter, dapat dipertahankan setiap hari dengan mengganti media kultur.

Bab II
Kultur Chlorella :
Produksi Lipida dan Pemanfaatannya Dalam Pengolahan Air Limbah


Pengaruh Nitrogen dan Karbon Dioksida Terhadap Produksi Lipida Pada Kultur Chlorella

Widjaja et al. (2009) melakukan studi untuk mengetahui cara meningkatkan produksi lipida dari mikroalga air tawar Chlorella vulgaris dengan meneliti beberapa faktor penting seperti pengaruh konsentrasi CO2, kekurangan nitrogen dan waktu panen serta metode esktraksi. Suhu pengeringan selama ekstraksi lipida dari biomas alga ternyata mempengaruhi tidak hanya komposisi lipida tetapi juga kandungan lipida. Pengeringan pada suhu sangat rendah dan dengan kondisi hampa udara memberikan hasil terbaik tetapi pengeringan pada suhu 60 °C masih mempertahankan komposisi lipida sedangkan kandungan lipida total hanya menurun sedikit. Pengeringan pada suhu yang lebih tinggi mengurangi kandungan triasilgliserol. Bila sampel alga kering ditumbuk cukup halus, ultrasonikasi tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan lipida maupun terhadap lama ekstraksi.

Widjaja et al. (2009) menambahkan bahwa selain meningkatkan total kandungan lipida dalam sel-sel mikroalga akibat media kultur kekurangan nitrogen, ternyata bahwa perubahan dari media bernutrien normal ke media yang kekurangan nitrogen akan mengubah secara perlahan-lahan komposisi lipida dari lipida yang bebas asam lemak menjadi lipida yang banyak mengandung triasilgliserol. Karena kandungan lipida yang lebih tinggi diperoleh bila pertumbuhan alga sangat lambat akibat kekurangan nitrogen, maka masalah kandungan lipida dan waktu panen harus dipertimbangkan guna mendapatkan kandungan lipida yang lebih banyak dan produktivitas lipida yang lebih tinggi. Karena pertumbuhan alga ini banyak ditingkatkan oleh naiknya konsentrasi CO2, maka konsentrasi gas ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan produktivitas lipida. Pada konsentrasi CO2 rendah sampai sedang, produktivitas lipida tertinggi dapat diperoleh selama kekurangan nitrogen yang dapat melebihi produktivitas selama nutrisi normal. Pada konsentrasi CO2 tinggi, pemanenan pada akhir fase linier selama nutrisi normal menghasilkan produktivitas lipida tertinggi. Bagaimanapun, dengan mengurangi lama inkubasi dalam media kurang-nitrogen, kandungan lipida yang lebih tinggi serta produktivitas lipida yang lebih besar masih bisa dicapai pada kondisi ini.

Pengaruh Besi Terhadap Pertumbuhan dan Penimbunan Lipida Pada Kultur Chlorella

Liu et al. (2008) menyatakan bahwa kelayakan ekonomi kultur masal alga untuk produksi biodiesel bisa diperbaiki dengan meningkatkan produktivitas biomas dan cadangan lipida. Pengaruh besi terhadap pertumbuhan dan penimbunan lipida dalam mikroalga laut Chlorella vulgaris telah dipelajari. Pada percobaan I, pengayaan media pertumbuhan dengan FeCl3-berchelat pada saat alga memasuki fase pertumbuhan akhir meningkatkan kepadatan sel akhir tetapi tidak merangsang penimbunan lipida di dalam sel. Pada percobaan II, sel-sel yang memasuki fase pertumbuhan eksponensial akhir dikumpulkan dengan cara sentrifugasi dan diinokulasi kembali ke media baru yang dilengkapi dengan lima level konsentrasi Fe3+. Total kandungan lipida dalam kultur yang dilengkapi dengan 1,2 × 10-5 mol/liter FeCl3 naik sampai 56,6 % biomas berdasarkan berat kering dan nilai ini adalah 3 - 7 kali lipat dibandingkan nilai dalam media lain yang konsentrasi besinya lebih sedikit. Selain itu, metode sederhana dan cepat untuk menentukan penimbunan lipida dalam Chlorella vulgaris dengan spektrofluorimetri telah dikembangkan.

Meningkatkan Produksi Lipida Pada Chlorella vulgaris Dengan Mengendalikan Kondisi Kultur

Lu et al. (2010) melaporkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas lipida dan dengan demikian mengurangi biaya produksi biodiesel mikroalga, pengaruh kondisi kultur termasuk konsentrasi KNO3, CO2 dan iradiansi cahaya (energi cahaya per satuan luas) terhadap pertumbuhan sel, kandungan klorofil-a dan penimbunan lipida pada Chlorella vulgaris telah diteliti secara sistematik dalam fotobioreaktor. Komposisi biokimia termasuk karbohidrat, protein dan lipida dianalisis secara bersamaan dengan spektroskopi FT-IR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas biomas terbesar dan kandungan lipida terbanyak bisa diperoleh pada kondisi kultur yang berbeda. Alga sebaiknya dipanen pada saat produktivitas biomas dan kandungan lipidanya optimum, yaitu ketika kondisi kulturnya dikendalikan pada 1,0 mM KNO3, 1,0 % CO2 dan 60 mikromol foton/m2/detik pada suhu 25 °C, produktivitas lipida tertinggi yang diperoleh adalah 40 mg/liter/hari, yang merupakan 2,5 kali lipat nilai yang dilaporkan oleh penelitian sebelumnya.

Glukosa Untuk Meningkatkan Produksi Lipida Pada Kultur Chlorella

Liang et al. (2009) meneliti biomas dan produktivitas lipida Chlorella vulgaris pada berbagai kondisi pertumbuhan. Pertumbuhan autotrofik menghasilkan kandungan lipida seluler yang lebih tinggi (38 %), namun produktivitas lipidanya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh pertumbuhan heterotrofik dengan media asetat, glukosa atau gliserol. Nilai-nilai optimal pertumbuhan sel (2 gram/liter) dan produktivitas lipida (54 mg/liter/hari) diperoleh dengan memanfaatkan glukosa berkonsentrasi 1 % (berat/volume); konsentrasi glukosa yang lebih tinggi bersifat menghambat. Pertumbuhan Chlorella vulgaris pada media gliserol memiliki efek dosis yang sama dengan pada media glukosa. Secara umum, Chlorella vulgaris bersifat mixotrophic.

Asam-Asam Lemak Yang Dihasilkan Oleh Kultur Chlorella

Petkova dan Garcia (2007) mempelajari komposisi asam lemak tiga spesies Chlorella pada kondisi kultur fotoautotrof, heterotrof, kelaparan nitrogen dan pada kultur fotobioreaktor luar-ruangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam lemak 14:0, 16:0, 16:1, 16:2, 16:3, 18:0, 18:1, 18:2 dan a-18:3 terbukti berasal dari Chlorella. Sedangkan asam-asam lemak dengan 20 atom karbon dan empat atau lima ikatan rangkap dianggap tidak berasal dari Chlorella. Keberadaan jenis-jenis asam lemak lain di luar komposisi ini disimpulkan akibat kultur alga yang bersifat campuran, kontaminasi oleh bakteri atau senyawa asing.

Kultur Chlorella Untuk Mengolah Air Limbah Perkotaan

Wang et al. (2010) melakukan studi dengan tujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan alga hijau Chlorella sp. pada sampel air limbah dari empat titik instalasi pengolahan limbah perkotaan lokal dan bagaimana pertumbuhan alga bisa menyingkirkan nitrogen, fosfor, chemical oxygen demand (COD) dan ion-ion logam dari air limbah. Keempat limbah cair tersebut adalah limbah sebelum pengendapan primer (air limbah no 1), air limbah setelah pengendapan primer (air limbah no 2), air limbah yang keluar dari tangki lumpur aktif (air limbah no 3) dan sentrat (air limbah no 4), yaitu air limbah yang dihasilkan oleh sentrifugasi lumpur.

Wang et al. (2010), berdasarkan studi yang dilakukannya itu, menyimpulkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan spesifik dalam periode eksponensial adalah 0,412, 0,429, 0,343, dan 0,948 per hari untuk air limbah no 1, 2, 3 dan 4, berturut-turut. Laju penyingkiran NH4-N adalah 82,4 %, 74,7 % dan 78,3 % untuk air limbah no 1, 2 dan 4, berturut-turut. Untuk air limbah no 3, sebanyak 62,5 % NO3-N, yang merupakan bentuk utama nitrogen anorganik, dihilangkan dengan laju yang besarnya 6,3 kali lipat laju pembentukan NO2-N. Dari air limbah no 1, 2 dan 4 sebanyak 83,2 %, 90,6 % dan 85,6 % fosfor serta 50,9 %, 56,5 % dan 83,0 % COD, berturut-turut, bisa dihilangkan. Hanya 4,7 % fosfor dihilangkan dalam air limbah no 3 dan COD dalam air limbah no 3 meningkat sedikit setelah pertumbuhan alga, mungkin akibat ekskresi molekul-molekul organik fotosintetik kecil oleh alga. Ion-ion logam, terutama Al, Ca, Fe, Mg dan Mn dalam sentrat disingkirkan dengan sangat efisien. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alga yang ditumbuhkan dalam sentrat kaya-zat hara menyediakan pilihan baru penggunaan alga untuk mengolah limbah dan mengurangi beban zat hara dalam air.


Bab III
Kultur Daphnia : Pengaruh Faktor Lingkungan


Biologi Daphnia

Dinges (1982) menyatakan bahwa Daphnia adalah krustasea pemakan-penyaring dengan panjang sekitar 1 – 3 mm yang ditemukan di kolam dan danau di seluruh daerah beriklim sedang dan, sampai batas-batas tertentu, di daerah subtropis dan daerah arktik (kutub). Daphnia termasuk famili daphnidae. Tiga spesies penghuni kolam, yaitu Daphnia pulex Leydig, Daphnia magna Straus dan Daphnia similis Clauss (sub genus Ctenodaphnia) sangat sesuai untuk budidaya masal terkendali.

Struktur fisiologis Daphnia yang memungkinkan mereka dapat memperbaiki kualitas air adalah lima pasang kaki toracik yang dipenuhi tonjolan mirip rambut-rambut halus. Alat gerak ini memungkinkan Daphnia untuk menyaring material tersuspensi dari air. Gerakan kaki yang cepat menciptakan arus air yang mengalir melalui sebuah celah menuju ke mulut. Partikel-partikel seperti alga, bakteri, protozoa, detritus dan lain-lain dikumpulkan ketika partikel-partikel tersebut terbawa arus air menuju mulut. Partikel padat dipecah menjadi butiran-butiran halus oleh struktur mandibular (rahang bawah) yang berperanan dalam penelanan makanan. Makanan didorong melalui saluran pencernaan makanan dan material yang tak tercerna dibuang melalui anus. Daphnia memiliki sebuah mata majemuk yang terletak di tengah-tengah kepala. Jantung, yang terletak di daerah punggung bagian atas, mendistribusikan darah ke seluruh bagian tubuh. Daphnia berenang dengan bantuan antena yang bercabang-cabang; hewan ini merupakan perenang lamban (Dinges, 1982).

Peranan Partenogenesis Dalam Reproduksi Daphnia

Menurut Dinges (1982) suatu populasi Daphnia pada kondisi lingkungan yang sesuai hampir selalu hanya terdiri dari betina partenogenetik. Betina-betina ini dapat menghasilkan anak tanpa kehadiran hewan jantan. Pada kondisi lingkungan yang menguntungkan, anak yang dihasilkan juga berjenis kelamin betina partenogenetik. Pembentukan sebuah populasi yang dimulai oleh seekor betina partenogenetik mengikuti proses-proses berikut. Telur-telur dari ovari akan dikeluarkan; telur ini lalu memasuki tuba falopii dan terus ke ruang pengeraman. Telur akan menetas dan dalam waktu yang singkat hewan muda dikeluarkan dari tubuh induknya; rupa hewan muda ini mirip seperti induknya. Induk tadi mengelupaskan kulit tubuhnya ketika ia melahirkan sementara makin banyak telur yang disimpan dalam ruang pengeraman. Tubuh Daphnia induk membesar sebelum kulit tubuhnya yang baru mengeras. Kulit tubuhnya ini tersusun dari kitin, sejenis polisakarida komplek yang tahan terhadap penguraian oleh bakteri. Kulit lama yang telah dibuang akan tenggelam ke dasar perairan.

Dinges (1982) melaporkan bahwa pengamatan terhadap Daphnia similis yang dipelihara dalam botol kultur menunjukkan bahwa seekor induk menghasilkan anak setelah berumur enam hari. Sebanyak empat puluh ekor Daphnia mungkin dihasilkan dalam satu kali pengeraman. Satu populasi yang dihasilkan oleh satu ekor betina partenogenetik disebut “clone”. Reproduksi partenogenetik memungkinkan untuk memilih individu dengan sifat yang dikehendaki dan menghasilkan satu “clone” dengan sifat genetik semua anggotanya hampir identik satu sama lain.

Faktor Fisika-Kimia Yang Mempengaruhi Produksi Kultur Daphnia

Dinges (1982), berdasarkan studi literatur, meringkaskan kisaran faktor-faktor fisika dan kimia bagi produksi Daphnia magna dan Daphnia pulex. Peningkatan populasi Daphnia terjadi pada kondisi berikut : suhu 12 – 20 oC, pH 7 – 8,5 , konsentrasi oksigen terlarut 0,5 – 10 mg/liter, H2S 0 – 0,4 mg/liter, NH4+ 0 – 17 mg/liter, NO2- 0 – 8 mg/liter dan konsentrasi bakteri 104 – 105/ml. Kedua spesies tumbuh subur bila pH kurang dari 8. Daphnia pulex hidup paling baik pada pH di bawah 8 dan konsentrasi amonia kurang dari 1 mg/liter. Amonia (NH3) merupakan racun bagi Daphnia pada pH tinggi. Nilai pH air media kultur harus dikontrol untuk mencegah penguraian amonia. Daphnia dapat mentoleransi hidrogen sulfida (H2S) sampai konsentrasi 3 mg/liter tetapi sebaiknya konsentrasi senyawa ini kurang dari 0,4 mg/liter. Pengadukan dan pengaerasian air media kultur secara pelan-pelan harus dilakukan untuk menghilangkan sulfida (S2-). Daphnia peka terhadap logam berat dan beberapa jenis bahan organik sintetis. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa kematian populasi Daphnia ketika mendekati musim panas disebabkan oleh meningkatnya suhu air (lebih dari 27 oC). Fotoperiod (panjang siang hari) merupakan faktor lingkungan penting yang mempengaruhi Daphnia. Akibat terkena cahaya matahari dalam jangka waktu lama adalah membludaknya produksi alga fitoplankton yang menyebabkan tingginya pH dan cepatnya penguraian amonia.

Menurut Dinges (1982), seekor induk Daphnia similis yang dipelihara dalam botol kultur menghasilkan sekelompok anak setiap hari. Betina muda menghasilkan anak setelah berumur enam hari. Populasi Daphnia dibatasi oleh pemangsaan dan pasokan makanan pada kondisi alami. Kepadatan populasi bisa mencapai dua atau tiga ribu ekor per liter pada kondisi yang menguntungkan.

Pengaruh Kesadahan dan Jenis Makanan Terhadap Produktivitas Daphnia

Lewis dan Maki (1981) mempelajari pengaruh makanan dan kesadahan air, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terhadap produktivitas Daphnia magna dalam uji laboratorium. Jumlah individu muda pada hari pertama reproduksi, jumlah total individu muda dan jumlah generasi adalah lebih banyak sejalan dengan meningkatnya kesadahan. Pada uji maksimum kesadahan 350 mg/liter (sebagai CaC03), produksi individu muda sekitar 65 % lebih banyak dibandingkan pada kesadahan terendah 50 mg/liter (sebagai CaC03). Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kematangan seksual adalah sekitar satu hari lebih singkat dalam air kultur yang lebih sadah. Daphnid yang diberi pakan kombinasi alga hijau, pakan ikan trout dan alfalfa kering adalah tiga kali lebih produktif daripada daphnid yang hanya memakan alga atau hanya pakan trout dan alfalfa. Kombinasi pakan yang diperkaya-alga dan media kultur yang bersifat sadah menghasilkan produktivitas optimal.

Pengaruh Jumlah Pakan Induk Daphnia Terhadap Produksi dan Ukuran Anaknya

Cox et al. (1992) melaporkan bahwa dengan memanipulasi jumlah makanan untuk induk, maka jumlah dan ukuran anak Daphnia magna bisa dimodifikasi. Jumlah makanan induk diatur dengan cara mempertahankan volume air media dan makanan (Chlorella) agar konstan, tetapi jumlah Daphnia per wadah bervariasi. Pada kepadatan rendah, anak Daphnia yang diproduksi setiap induk adalah lebih banyak namun lebih kecil dibandingkan pada kepadatan tinggi; pada yang terakhir ini anak yang diproduksi per induk lebih sedikit namun lebih besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kontrol yang cermat terhadap jumlah makanan induk Daphnia harus dilakukan untuk memperoleh anak Daphnia yang seragam.

Respon Daphnia Terhadap Keterbatasan Makanan

Gliwicz (2010) dalam Likens (2010) melaporkan bahwa data eksperimen mengenai laju pertumbuhan spesies-spesies Daphnia yang berbeda ukuran dan dikultur dengan konsentrasi makanan berbeda-beda menunjukkan bahwa ambang batas konsentrasi makanan adalah lebih rendah untuk spesies berbadan besar daripada untuk spesies berbadan kecil. Percobaan lebih lanjut membuktikan bahwa ambang batas konsentrasi makanan adalah lebih rendah untuk individu tua daripada untuk Daphnia muda. Dari hasil percobaan ini disimpulkan bahwa (1) Daphnia tua lebih unggul dalam bersaing daripada individu muda, (2) juvenil Daphnia yang rentan terhadap kelaparan akan menghilang dari persaingan, dan (3) bila menghadapi ancaman kelaparan yang hebat, individu dewasa akan menghentikan reproduksi atau membuat investasi yang lebih besar untuk setiap anaknya dengan cara memproduksi lebih sedikit telur per periode sehingga setiap anak memperoleh alokasi sumberdaya yang lebih banyak. Hal ini akan menghasilkan populasi tunggal berisi individu berumur panjang di mana individu-individu muda akan tersingkirkan melalui persaingan intraspesifik yang hebat.

Pengaruh Air Bekas Budidaya Ikan Terhadap Pertumbuhan dan Fekunditas Daphnia

Tatrai dan de Bernardi (1992) meneliti pengaruh air bekas pemeliharaan anak ikan cyprinidae terhadap pertumbuhan dan fekunditas Daphnia obtusa. Mereka menyimpulkan bahwa pergeseran ketersediaan makanan yang berhubungan dengan adanya ikan akan mengubah laju pertumbuhan Daphnia obtusa. Pertumbuhan dan fekunditas daphnidae meningkat ketika dipelihara di dalam air bekas akuarium anak ikan cyprinidae, tetapi menurun dengan bertambahnya umur ikan tersebut. Dampak ikan secara tak langsung ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan alga dan konsentrasi metabolit yang membantu pertumbuhan alga.

Pengaruh Tumbuhan Air Terhadap Kelimpahan Daphnia

Irvine et al. (1990) mempelajari hubungan antara tumbuhan air tipe-tenggelam dengan komunitas mikrokrustasea dan rotifera selama periode tiga tahun di serangkaian kolam eksperimen, yang dibuat dengan memanfaatkan parit drainase. Dalam penelitian ini juga dilakukan pendugaan kelimpahan musiman dan distribusi-ruang. Kolam eksperimen ditumbuhi berbagai jenis vegetasi, yang didominasi oleh Ceratophyllum demersum atau Stratiotes aloides dan hal ini berpengaruh terhadap komunitas binatang kolam. Peningkatan biomas Ceratophyllum berhubungan dengan peningkatan kelimpahan entomostraca yang berasosiasi dengan tumbuhan air, sedangkan peningkatan biomas Stratiotes menyebabkan penurunan secara umum kelimpahan binatang yang berasosiasi dengan tumbuhan air. Peningkatan biomas kedua spesies tumbuhan air ini menyebabkan penurunan kelimpahan Daphnia, tetapi dengan derajat yang berbeda.

Pengaruh Volume Media Kultur dan Kepadatan Induk Terhadap Produksi Anak Daphnia

Martínez-Jerónimo et al. (2000) menyatakan bahwa anak baru-lahir Daphnia magna banyak digunakan untuk bioesei dalam toksikologi akuatik. Walaupun spesies ini dijadikan sebagai rujukan seluruh dunia dalam studi ekotoksikologi, namun penelitian tersebut bila diulangi memberikan hasil yang berbeda-beda akibat perbedaan dalam hal kondisi pemeliharaan induk Daphnia. Telah dilakukan penelitian mengenai efek gabungan antara kepadatan betina partenogenetik dewasa dan volume kultur terhadap fekunditas total. Mikroalga hijau Scenedesmus incrassatulus digunakan sebagai pakan (kepadatan alga 1,3 x 106 sel/ml). Segera setelah reproduksi dimulai, anak yang dihasilkan dihitung setiap hari dan dipindahkan untuk menghindari efek berdesakan. Percobaan dilakukan selama 40 hari. Jumlah total maksimal anak per betina, yaitu 832 dan 755 anak, diperoleh untuk kepadatan induk berturut-turut 5 dan 10 ekor per liter (dalam percobaan ini satu ekor betina dewasa per wadah kultur yang bervolume 200 dan 100 ml). Bila volume media kultur ditambah, meskipun kepadatan induk betina berkurang, fekunditas berkurang dan juga jumlah total anak yang diproduksi per betina berkurang. Untuk memperoleh produksi anak Daphnia yang optimal, betina partenogenetik sebaiknya dikultur sendiri-sendiri dengan volume air sedikit (100 atau 200 ml).

Bab IV
Pemanfaatan Spirulina


Perkembangan Budidaya dan Pemanfaatan Spirulina di Cina

Wu et al. (1998) melaporkan bahwa pada awal tahun 1980-an, tingginya kandungan protein dalam Spirulina (Cyanophyta; alga hijau-biru) menarik perhatian beberapa ahli tanaman Cina. Spesies Spirulina diperkenalkan dari laboratorium asing atau diisolasi di Cina, termasuk Spirulina platensis, Spirulina maxima, Spirulina sabsala, Spirulina major, dll. Dua spesies yang dibudidaya saat ini, Spirulina platensis dan S. maxima, berasal dari Danau Chad Afrika dan Danau Texcoco Meksiko. Spirulina platensis lebih banyak dibudidayakan karena pertumbuhannya lebih stabil dan produksinya lebih mudah dikendalikan.

Penemuan, budidaya dan industrialisasi Spirulina merupakan sebagian dari prestasi paling penting dalam bidang studi budidaya alga di dunia sejak tahun 1960-an dari sudut pandang tingginya kandungan nutrisi, substansi bioaktif spesial, dan keberhasilan budidaya dalam sistem fotobioreaktor terbuka. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Spirulina dengan cepat menjadi makin populer di pasar yang mungkin terbesar di dunia, Cina. Produk Spirulina, terutama dalam bentuk tablet atau kapsul, membentuk pasar yang sangat bersaing, karena makin banyak konsumen yang merasakan manfaatnya dalam hal nutrisi dan pengobatan. Kebanyakan konsumen menganggap Spirulina sebagai obat kesehatan, tidak semata-mata sebagai makanan yang kaya nutrisi. Ratusan ton tepung Spirulina kering diekspor setiap tahun oleh beberapa perusahaan yang didirikan dalam lima tahun terakhir.

Spirulina Sebagai Makanan Manusia

Belay et al. (1993) menyatakan bahwa Spirulina ditemukan di banyak danau yang bersifat basa dengan pH sangat tinggi, yang kadang-kadang mencapai 11. Nilai pH seperti ini menghambat pertumbuhan sebagian besar alga lain. Spirulina telah lama digunakan sebagai makanan. Ada banyak laporan bahwa Spirulina dimanfaatkan secara tradisional sebagai makanan oleh orang-orang Aztek di Meksiko selama lebih dari 1.000 tahun. Alga ini juga dimakan oleh penduduk lokal di daerah Danau Chad. Perhatian terhadap Spirulina pada awalnya difokuskan terutama pada potensinya sebagai sumber protein dan vitamin. Spirulina mengandung protein sebanyak 60 – 70 % berdasar berat dan kaya akan vitamin, terutama vitamin B-12 dan pro vitamin A (beta karoten), mineral, terutama besi, dan merupakan salah satu dari sedikit sumber asam gamma-linolenat bagi manusia. Saat ini ada beberapa perusahaan yang memproduksi Spirulina dan menjual produknya sebagai suplemen makanan kesehatan di seluruh dunia. Produksi Spirulina komersial total tahunan saat ini untuk konsumsi manusia adalah sekitar 800.000 kg.

Percobaan Pemanfaatan Spirulina Sebagai Pakan Misis Udang Penaeus

Cao dan Xiang (1992) menggunakan kultur Spirulina platensis sebagai satu-satunya pakan dalam pemeliharaan misis udang Penaeus orientalis yang dipelihara dalam kantong pemijahan. Alga Chaetoceros muelleri dipakai sebagai pakan kontrol. Hasilnya menunjukkan bahwa larva yang bertahan hidup pada setiap kelompok semuanya berkembang dari misis menjadi post larva pada hari keempat percobaan. Tingkat kelangsungan hidup, bagaimanapun, bervariasi pada kondisi pakan yang berbeda. Tingkat kelangsungan hidup larva yang diberi pakan Spirulina platensis hanya 8,7 %, yang makan Chaetoceros muelleri 28,7 % dan yang diberi pakan kedua jenis alga ini adalah 17,3 %. Kesimpulannya adalah bahwa Spirulina platensis bukanlah pakan yang ideal bila digunakan sendirian untuk misis Penaeus orientalis meskipun ia banyak mengandung protein.

Pemanfaatan Spirulina di Bidang Kesehatan

Belay et al. (1993) menyatakan bahwa Spirulina merupakan alga mikroskopik berfilamen yang kaya akan protein, vitamin, asam-asam amino esensial, mineral dan asam-asam lemak esensial seperti asam gamma-linolenat. Alga ini diproduksi secara komersial dan dijual sebagai suplemen makanan di toko makanan kesehatan di seluruh dunia. Sampai saat ini, perhatian terhadap Spirulina terutama ditujukan pada nilai gizinya. Bagaimanapun, baru-baru ini banyak orang meneliti kemungkinan adanya efek pengobatan pada Spirulina. Banyak studi pra klinis dan beberapa studi klinis menunjukkan adanya efek-efek pengobatan yang berkisar dari penurunan kadar kolesterol, penghambatan kanker sampai peningkatan sistem kekebalan, peningkatan populasi bakteri lactobacilli usus, penurunan daya racun logam berat terhadap ginjal serta perlindungan terhadap radiasi.

Produksi Asam Linolenat dari Spirulina platensis

Cohen et al. (1993) menyatakan bahwa asam lemak poli tak jenuh, yaitu asam gamma-linolenat (18 : 3, omega 6), berpotensi sebagai bahan obat. Alga hijau biru Spirulina platensis bisa menjadi sumber yang bagus untuk memperoleh asam lemak ini karena konsentrasi asam gamma-linolenat bisa ditingkatkan dan dipekatkan dengan biaya murah. Peningkatan konsentrasi sel Spirulina platensis akan meningkatkan konsentrasi asam lemak sehingga konsentrasi asam gamma-linolenat juga ikut meningkat. Efek ini telah dimanfaatkan untuk meningkatkan lebih lanjut konsentrasi asam gamma-linolenat dari galur alga yang banyak memproduksi asam lemak ini. Pemisahan galaktolipida dan pemurniannya melalui pembentukan kompleks urea bisa menghasilkan pekatan asam gamma-linolenat dengan kemurnian lebih dari 90 %.

Pengaruh Spirulina Terhadap Diabetes, Kegemukan dan Tekanan Darah Tinggi

Belay et al. (1993), berdasarkan beberapa penelitian, melaporkan bahwa fraksi Spirulina yang larut dalam air adalah efektif untuk menurunkan kadar glukosa dalam serum darah pada orang yang sedang berpuasa, sedangkan fraksi yang tak larut dalam air menekan kadar glukosa pada orang yang sedang mengkonsumsi glukosa. Dalam sebuah penelitian, dilaporkan bahwa pemberian 2,8 gram Spirulina sebagai suplemen makanan sebanyak 3 kali sehari selama 4 minggu menyebabkan berat badan pasien penderita obesitas (kegemukan) menurun secara nyata. Juga dilaporkan bahwa Spirulina menurunkan tekanan darah yang tinggi (hipertensi) pada tikus.

Pemanfaatan Spirulina Sebagai Pelindung Radiasi

Belay et al. (1993) mengulas laporan penelitian mengenai pemanfaatan Spirulina sebagai pelindung terhadap radiasi. “Crude ethanol precipitate” (CEP; endapan etanol kasar) dari Spirulina platensis menunjukkan efek perlindungan terhadap radiasi, dan hal ini telah diteliti dengan menggunakan uji mikronukleus (mikro inti) dalam “polychromatic erythrocytes” (PCE, sel darah merah banyak-warna) pada sumsum tulang tikus. Pada sistem ini, ekstrak yang menyebabkan penurunan secara nyata frekuensi mikronukleus disinari dengan radiasi gamma. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa senyawa pelindung mungkin bertindak sebagai faktor penstabil DNA, dan mungkin menggerakan mekanisme penyingkiran radikal. Kemampuan CEP dalam mengurangi kejadian terbentuknya sel-sel sumsum tulang dengan inti sel berukuran mikro menunjukkan bahwa ia merupakan agen anti-mutagenik dan agen yang mendorong pemulihan-diri. Ada laporan tak diterbitkan dari dokter dan ilmuwan mengenai efek Spirulina sebagai pelindung radiasi berdasarkan percobaan pada anak-anak korban radiasi Chernobyl. Dalam penelitian yang melibatkan 49 anak-anak, umur 3 – 7 tahun, di Beryozovka, pemberian Spirulina selama 45 hari menyebabkan peningkatan agen penghambat sel-T dan hormon-hormon yang menguntungkan. Selain itu, radioaktivitas urin anak-anak tersebut menurun 83 %.

Referensi :

Belay, A., Y. Ota, K. Miyakawa and H. Shimamatsu. 1993. Current Knowledge on Potential Health Benefits of Spirulina. Journal of Applied Phycology, Vol. 5, pp. 235 - 241

Cao, S. and B. Xiang. 1992. Experimental Studies on Spirulina platensis as Food for Mysis of Penaeus orientalis. Marine Science Bulletin, Vol. 11, No. 1, pp. 28 - 31

Cohen, Z., M. Reungjitchachawali, W. Slangdung and M. Tanticharoen. 1993. Production and Partial Purification of ã-Linolenic Acid and Some Pigments From Spirulina platensis. Journal of Applied Phycology, Vol. 5, No. 1, pp. 109 – 115

Cox, E.J., C. Naylor, M.C. Bradley and P. Calow. 1992. Effect of Differing Maternal Ration on Adult Fecundity and Offspring Size in Laboratory Cultures of Daphnia magna Straus for Ecotoxicological Testing. Aquatic Toxicology, Vol. 24, No. 1 – 2, pp. 63 - 74

Dinges, R. 1982 . Natural Systems for Water Pollution Control. Van Nostrand Reinhold Co. New York. 252 pp.

Gliwicz, Z.M. 2010. Competition and Predation in G.E. Likens (ed.). 2010. Plankton of Inland Waters. Academic Press, Amsterdam. 398 pp.

Hu, Q., N. Kurano, M. Kawachi, I. Iwasaki and S. Miyachi. 1998. Ultrahigh-cell-density culture of a marine green alga Chlorococcum littorale in a flat-plate photobioreactor. Applied Microbiology and Biotechnology, Volume 49, Issue 6, pp. 655 - 662

Irvine, K., H. Balls and B. Moss. 1990. The Entomostracan and Rotifer Communities Associated With Submerged Plants in The Norfolk Broadland – Effects of Plant Biomass and Species Composition. Internationale Revue der Gesamten Hydrobiologie, Vol. 75, No. 2, pp. 121 - 141

Lewis, M.A. and A.W. Maki. 1981. Effects of Water Hardness and Diet on Productivity of Daphnia magna Straus in Laboratory Culture. Hydrobiologia, Vol. 85, Issue 2, pp. 175 - 179

Liang, Y., N. Sarkany and Y. Cui. 2009. Biomass and Lipid Productivities of Chlorella vulgaris Under Autotrophic, Heterotrophic and Mixotrophic Growth Conditions. Biotechnology Letters, Vol. 31, Issue 7, pp. 1043 - 1049

Liu, Z.-Y., G.-C. Wang and B.-C. Zhou. 2008. Effect of Iron on Growth and Lipid Accumulation in Chlorella vulgaris. Bioresource Technology, Vol. 99, Issue 11, pp. 4717 – 4722

Lu, J.-M., L.-H. Cheng, X.-H. Xu, L. Zhang and H.-L. Chen. 2010. Enhanced Lipid Production of Chlorella vulgaris by Adjustment of Cultivation Conditions. Bioresource Technology, Vol. 101, Issue 17, pp. 6797 – 6804

Martínez-Jerónimo, F., F. Espinosa-Chávez and R. Villaseñor. 2000. Effect of Culture Volume and Adult Density on The Neonate Production of Daphnia magna, as A Test Organism for Aquatic Toxicity Tests. Environmental Toxicology, Vol. 15, Issue 3, pp. 155 – 159

Petkova, G., and G. Garcia. 2007. Which Are Fatty Acids of The Green Alga Chlorella ? Biochemical Systematics and Ecology, Vol. 35, Issue 5, pp. 281–285

Tatrai, I. and R. Bernardi. 1992. Indirect Impact of Cyprinid Fish Fry on The Growth and Fecundity of Daphnia obtusa. Archives of Hydrobiologica, Vol. 125, No. 3, pp. 371 – 381

Wang, L., M. Min, Y. Li, P. Chen, Y. Chen, Y. Liu, Y. Wang and R. Ruan. 2010. Cultivation of Green Algae Chlorella sp. in Different Wastewaters from Municipal Wastewater Treatment Plant. Applied Biochemistry and Biotechnology, Vol. 162, Issue 4, pp 1174 - 1186

Widjaja, A., C.-C. Chien and Y.-H. Ju. 2009. Study of Increasing Lipid Production From Fresh Water Microalgae Chlorella vulgaris. Journal of the Taiwan Institute of Chemical Engineers, Vol. 40, Issue 1, pp. 13 – 20

Wu, B., W. Xiang and C. Zeng. 1998. Spirulina Cultivation in China. Chinese Journal of Oceanology and Limnology, Vol. 16, Issue 1, pp. 152 - 157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar