Selasa, 20 Februari 2018

Gonad, Sperma dan Telur Ikan


Bab I
Gonad Ikan dan Avertebrata


Anatomi Gonad Ikan

Menurut Hickman dan Hickman (1974), ikan teleostei menunjukkan banyak tipe pola reproduksi seksual. Meskipun kondisi hermafrodit kadang terjadi secara abnormal pada banyak spesies, hanya satu atau dua famili (sebagai contoh, Serranidae) yang benar-benar hemafrodit. Pada ikan hermafrodit, gonad masing-masing terbagi menjadi zona testikular (penghasil testis) dan zona ovarian. Ikan Poecilia formosa yang ditemukan di Texas merupakan contoh yang baik mengenai tipe partenogenesis yang aneh yang disebut pseudogamy, atau ginogenesis. Proses ini melibatkan pemasukan dan pengaktivan sebutir telur oleh sebuah spermatozoa yang nukleusnya tidak melakukan peleburan genetik dengan nukleus sel telur. Sperma dihasilkan oleh ikan jantan dari spesies yang berkaitan, tetapi keturunannya semua mirip induk betina karena mereka secara genetik sama.

Hickman dan Hickman (1974) menambahkan bahwa testis biasanya berupa organ keputihan memanjang yang terbagi menjadi lobula-lobula yang mengandung kista-kista berisi sel kelamin yang matang. Di dalam setiap kista, sel-sel yang matang selalu dalam tahap perkembangan yang sama. Lobula-lobula tadi bermuara ke dalam saluran spermatik (dengan lapisan sekretori), yang memanjang menuju sinus urogenital. Ikan jantan seringkali menjadi matang kelamin sebelum ikan betina, dan testisnya mungkin aktif sepanjang tahun; pada ikan lainnya aktivitas reproduktif testis bersifat musiman yang teratur. Ovari bisa memanjang sepanjang rongga perut dan tersusun dari banyak folikel ovari yang disokong oleh jaringan penghubung. Ovari, dengan selubung membran, kadang menyatu dengan oviduct, atau ovari tanpa pembungkus dan mengeluarkan telur-telurnya ke dalam rongga peritoneal (rongga perut), kemudian telur-telur ini masuk ke dalam oviduct (mullerian duct). Oviduct yang berpasangan kadang-kadang bermuara pada lubang urogenital di belakang anus, atau bermuara pada lubang kelamin (genital pore). Beberapa ikan seperti trout dan salmon tidak memiliki oviduct; jenis ikan lainnya seperti sidat air tawar tidak mempunyai saluran sperma maupun oviduct. Biasanya telur dihasilkan secara musiman pada waktu-waktu yang tertentu dan ovari menjadi tidak aktif di luar waktu-waktu ini. Beberapa ikan (sebagai contoh, ikan hake) dikenal mempunyai ovari yang aktif sepanjang waktu. Beberapa ikan seperti ikan cod memproduksi sangat banyak telur (9 juta butir telur pernah ditemukan dalam ovari seekor ikan betina).

Variasi Berat Gonad dan Ciri Seksual Sekunder Ikan Zacco

Katano (1990) melaporkan bahwa hubungan antara panjang badan, berat gonad dan berat badan serta ciri-ciri seksual sekunder pada ikan dark chub, Zacco temmincki, telah dianalisa dengan merujuk variasinya. Baik faktor kondisi maupun gonadosomatik indek (GSI) meningkat tajam dalam musim pra-kawin. Ukuran tubuh berkorelasi positif dengan nilai GSI untuk ikan betina, kecuali pada periode pasca pemijahan, tetapi berkorelasi negatif atau tidak berkorelasi untuk ikan jantan. Variasi individual faktor kondisi dan nilai GSI juga meningkat pada musim pra-kawin dan musim kawin. Warna-pemijahan dan organ-organ mutiara pada kepala berkembang pada kedua jenis kelamin sepanjang tahun, dan paling menyolok pada ikan jantan dalam musim kawin. Organ-organ mutiara pada sirip dubur hanya berkembang pada ikan jantan dalam musim kawin. Perkembangan ciri-ciri seksual sekunder ini tidak harus menunjukkan kematangan seksual maupun tingginya potensi produksi tetapi sangat berhubungan dengan besarnya ukuran tubuh. Warna-pemijahan diyakini berfungsi sebagai sinyal yang menunjukkan perkembangan organ-organ mutiara dan ukuran tubuh. Organ-organ mutiara pada kepala merupakan senjata untuk mengusir ikan-ikan spesies yang sama, sedang organ-organ mutiara pada sirip dubur menjadi alat untuk mengubur telur pada perilaku pemijahan.

Pengaruh Suhu dan Fotoperiode Terhadap Perkembangan Gonad Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa meskipun organisasi internalnya rumit, banyak ikan daerah beriklim sedang memulai perkembangan gonad semata-mata sebagai respon terhadap perubahan suhu dan fotoperiode musiman. Pada ikan pumpkinseed sunfish (Lepomis gibbosus), sebagai contoh, perkembangan gonadnya secara khas dimulai pada akhir Mei ketika suhu air kolam melebihi 12,5 oC dan panjang siang mendekati 15 jam. Percobaan laboratorium menunjukkan, bagaimanapun, bahwa panjang siang minimum yang sebenarnya adalah antara 12,0 dan 13,5 jam dan bahwa suhu minimum sekitar 14 oC diperlukan pada saat yang sama. Ikan betina mungkin mempunyai persyaratan suhu yang sedikit lebih tinggi daripada ikan jantan. Baik suhu hangat maupun fotoperiode (dalam hal ini panjang siang hari) yang lama itu saja tidak memiliki banyak pengaruh. Setelah memijah dalam bulan Agustus, tidak ada pembaharuan aktivitas gonad, meskipun panjang siang dan suhu melebihi nilai minimum yang diperlukan untuk perkembangan gonad; hal ini menunjukkan bahwa juga ada periode yang pasif setelah pemijahan. Suhu hangat (17,5 oC) dan fotoperiode yang singkat (10,5 jam) menyebabkan penyusutan gonad. Ikan lain yang memiliki pola reproduksi serupa mencakup ikan minnow (Phoxinus laevis), medaka (Oryzias latipes), stickleback (Gasterosteus aculeatus) dan sunfish (Lepomis cyanellus). Di daerah tropis, di mana musim dominan hanyalah kemarau dan hujan, pemijahan sering terjadi pada permulaan musim hujan. Pola reproduksi seperti ini yang ditandai oleh perubahan lingkungan mengkoordinasi perkembangan seksual kedua jenis kelamin dan menjamin kondisi lingkungan yang sesuai bagi perkembangan tahap awal anak ikan yang akan dihasilkan. Kondisi ini diperantarai oleh kelenjar-kelenjar endokrin yang mempengaruhi perilaku dan fisiologi ikan.

Kematangan Gonad Bandeng Budidaya secara Alami

Marte et al. (1988), berdasarkan laporan beberapa penelitan lain, menyimpulkan bahwa ikan bandeng (Chanos chanos) secara spontan matang gonad pada berbagai kondisi pemeliharaan, tetapi faktor-faktor yang memicu kematangan gonad pertama kali belum dipahami dengan baik. Di Taiwan dan Hawaii, ikan bandeng yang dipelihara di dalam tangki secara spontan matang gonad untuk pertama kali pada umur 6 tahun atau lebih, tetapi persentase ikan yang mencapai kematangan sempurna adalah rendah dan tidak ada yang memijah tanpa rangsangan hormon. Pematangan dan pemijahan ikan bandeng yang dipelihara dalam kolam di Taiwan telah dilaporkan oleh Lin tahun 1982 dan 1984. Bagaimanapun, ikan pertama kali matang gonad pada umur 9 sampai 10 tahun. Demikian pula, bandeng umur 11 – 12 tahun yang dipelihara dalam tangki di Gondol, Indonesia, matang gonad dan memijah secara spontan. Kematangan gonad secara spontan dan pemijahan alami terjadi pada hampir semua bandeng umur 5 tahun yang dipelihara dalam kurungan.

Pembalikan Jenis Kelamin Pada Ikan

Chan dan Yeung (1983) dalam Hoar et al. (1983) sependapat dengan pernyataan bahwa dualitas genetik dan fisiologi sel reproduktif membentuk basis fundamental seksualitas pada organisme hidup. Pada vertebrata, dimorfisme seksual lebih lanjut ditunjukkan oleh jenis kelamin gonad, jenis kelamin tubuh dan jenis kelamin perilaku. Evolusi sistem seksual kompleks tak diragukan merupakan hasil seleksi alam,dan kemunculan sifat-sifat seksual tertentu seringkali dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan berfungsi meningkatkan keberhasilan reproduksi spesies tersebut. Di alam, pengendali jenis kelamin terutama adalah genetik, dan pengungkapan gen(-gen) seks mewujudkan diri dalam organ-organ seks primer. Gonad yang berdiferensiasi, terutama testes, selanjutnya mensekresi steroid dan substansi non steroid, seperti hormon anti-Mullerian, yang mengendalikan diferensiasi jenis kelamin tubuh dan jenis kelamin perilaku. Meskipun penentu utama jenis kelamin ada dalam gen individu, perubahan dari jenis kelamin genotip menjadi jenis kelamin fenotip hanya dilakukan oleh proses biokimia, yang mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Jadi, pengendalian jenis kelamin ikan, seperti pada kebanyakan organisme lain, dikendalikan oleh faktor genetik (intrinsik) maupun lingkungan (ekstrinsik). Perlu ditekankan di sini bahwa pembalikan seks alami jangan dikacaukan dengan pembalikan seks eksperimental. Yang pertama menyatakan pembalikan seks yang terjadi sebagai proses spontan di bawah kondisi alami pada spesies hermaprodit, sementara pembalikan seks alami pada teleostei menyebabkan berbagai pola hermaproditisme yang berfungsi seberhasil gonochorisme. Yang terakhir biasanya melibatkan manipulasi buatan terhadap diferensiasi seks embryo pada spesies gonochoris normal, sehingga jenis kelamin fenotip berbeda dengan jenis kelamin genotip.

Pembalikan seks, perubahan individu dari satu jenis kelamin menjadi jenis kelamin yang lain, telah didefinisikan oleh Atz pada tahun 1964 sebagai perubahan “dari kepemilikan jaringan ovari yang dapat dikenali menjadi kepemilikan jaringan testes yang dapat dikenali atau sebaliknya”. Arti yang luas dari istilah ini, sekalipun telah ditambah keterangan penjelas-diri seperti pembalikan seks “fungsional”, tidak dapat membedakan antara pembalikan seks gonochoris (buatan) di mana jenis kelamin fenotip fungsional berbeda dengan jenis kelamin genotip dan pembalikan seks hermaprodit-berurutan/”consecutive hermaphrodite” (alami) di mana kedua jenis kelamin berfungsi dalam urutan sementara selama masa hidupnya. Reinboth pada tahun 1970 mengusulkan untuk meninggalkan istilah “pembalikan seks” dalam pembahasan mengenai “ambosexual (intersexual)” pada ikan dengan alasan bahwa istilah ini “bisa memiliki arti kembali ke kondisi seks primer’; ia mengajukan istilah yang lebih netral “sex inversion” (penukaran seks) yang didefinisikan oleh Atz sebagai “kondisi yang dicapai suatu individu dari suatu jenis kelamin serupa dengan jenis kelamin lawannya, tetapi tidak memiliki jaringan gonad yang dapat-dikenali dari jenis kelamin tersebut”. Jadi, istilah yang sama digunakan oleh kedua peneliti untuk pengertian yang sangat berbeda. Istilah yang lebih baru adalah “sex succession” untuk menyatakan sifat sementara pembalikan seks (sex reversal) yang terjadi pada hermaprodit-berurutan. Istilah suksesi seks lebih tepat daripada pembalikan seks bagi spesies hermaprodit di mana zona-zona dan jaringan heteroseksual ada bersama-sama sebelum perubahan seks; perubahan seks dalam kasus ini pada kenyataannya merupakan kejadian ontogenetik di mana jaringan jantan dan betina yang telah ada mengalami serangkaian pola suksesi kematangan seks (Chan dan Yeung, 1983, dalam Hoar et al., 1983).

Efektivitas Hormon Steroid Sintetis Dalam Merangsang Pembalikan Jenis Kelamin Ikan

Hunter dan Donaldson (1983) dalam Hoar et al. (1983) menyatakan bahwa meskipun telah banyak jenis steroid alami dan buatan yang berhasil merangsang pembalikan jenis kelamin (sex reversal), namun aktivitas biologis individualnya berbeda. Secara umum, androgen sintetis lebih berpotensi daripada androgen alami. Androgen sintetis yang paling potensial adalah 19-nor-ethynyltestosterone, yang menghasilkan 50 % pembalikan jenis kelamin pada dosis 1,0 mg/kg pakan. Yang kurang potensial adalah fluoxyinesterone 1,2 mg/kg, ethynyltestosterone 3,4 mg/kg, methylandrostenediol 7,8 mg/kg, methyltestosterone 15 mg/kg, dan testosterone propionate 560 mg/kg. Androgen alami termasuk androstenedione 500 mg/kg dan androsterone 580 mg/kg. Telah dibuktikan bahwa 11-ketotestosterone merupakan androgen alami yang paling potensial pada dosis 110 mg/kg. Demikian pula, estrogen-estrogen sintetis hexesterol, euvastin dan ethylestradiol memberikan 50 % pembalikan jenis kelamin pada dosis 0,5 , 0,8 dan 1,7 (mg/kg), berturut-turut. Untuk mencapai 50 % pembalikan jenis kelamin, maka estradiol, estrone dan estriol alami membutuhkan dosis 5,8 ,20 dan 130 mg/kg pakan. Hasil-hasil seperti ini bisa diharapkan karena baik estrone maupun estriol merupakan produk metabolik estradiol. Demikian pula, 11-ketotestosteron telah ditunjukkan jauh lebih potensial daripada testosterone dalam merangsang pembalikan jenis kelamin pada ikan Poecilia reticulata. Lebih tingginya potensi steroid sintetis (dibandingkan steroid alami) yang diberikan lewat mulut disebabkan sebagian oleh ketahanannya terhadap penguraian di dalam saluran pencernaan.

Perkembangan Gonad Ikan Sidat, Anguilla

Deelder (1984), dengan mengutip hasil penelitian lain, melaporkan bahwa gonad seekor ikan sidat (Anguilla) mula-mula tidak dapat dibedakan karena beberapa bagian gonad tersebut cenderung menunjukkan sifat jantan, sebagian lagi betina dan bagian lainnya peralihan jantan-betina. Diferensiasi gonad terjadi dengan berkembangnya unsur-unsur gametogenesis jantan dan menyusutnya unsur-unsur gametogenesis betina atau sebaliknya. Diferensiasi gonad kadang-kadang bisa dikenali pada sidat sepanjang 20 cm atau bahkan lebih kecil lagi. Kebanyakan sidat, bagaimanapun, tetap dalam kondisi seksual yang belum dapat ditentukan hingga mencapai panjang 30 cm atau lebih. Selama perkembangannya, suatu stok ikan sidat menunjukkan perubahan bertahap dari betina ke jantan yang dihubungkan oleh individu-individu berjenis kelamin peralihan. Ada tahap yang cukup lama di mana jenis kelamin sidat tidak dapat ditentukan, dengan sel-sel betina terdapat bersama-sama dengan unsur-unsur jantan; pada yang terakhir ini sifat-sifat seksual tidak muncul karena kematangan gonad tertunda.

Siklus Gonad Oyster Crassostrea

Robinson (1992) mempelajari siklus reproduksi oyster kumamoto (Crassostrea gigas kumamoto) yang dikumpulkan dari daerah oyster komersial di Teluk Yaquina, Oregon, setiap bulan selama periode 3 tahun. Gonad mengandung beberapa gamet matang sepanjang tahun. Frekuensi maksimum oyster matang gonad terjadi pada bulan Agustus – September dan menurun dengan cepat pada Oktober – November sampai minimum pada bulan Maret. Gametogenesis dimulai pada bulan Mei dan sel telur matang pertama kali muncul pada Juni – Juli. Pengkondisian untuk percobaan pemijahan telah dilakukan pada suhu 20 oC dan 24 oC empat kali setahun. Pada suhu 24 oC, produksi gamet terjadi 2 sampai 4 minggu lebih dulu dibandingkan pada suhu 20 oC. Dengan memulai pengkondisian pada bulan Mei atau Juni, periode pengkondisian di laboratorium bisa dikurangi 2 sampai 6 minggu. Kelangsungan hidup larva dan jumlah benih yang terkumpul juga meningkat dengan berkurangnya periode pengkondisian laboratorium. Pada percobaan yang dilakukan dengan 5 macam suhu dan 5 macam salinitas, kondisi optimum untuk pemeliharaan larva berkisar dari 24 sampai 28 oC dan dari 20 sampai 25 ppt.

Penyusutan Gonad Kepiting Akibat Parasit

Vinuesa (1989) melaporkan bahwa dari analisis terhadap 5.000 spesimen king crab Lithodes santolla dan Paralomis granulosa ditemukan bahwa kedua spesies diparasiti oleh rhizocephala Briarosaccus callosus. Gejala utama infeksi ini adalah penyusutan gonad, namun molting (ganti kulit) tidak terpengaruh. Kejadian parasit ini pada kedua spesies adalah sangat jarang, tidak lebih dari 2,2 %. Telah diketahui bahwa kedua spesies juga diparasiti oleh sejenis isopoda bopyridae yang belum dapat diidentifikasi, tetapi kejadiannya sangat jarang dan tidak terlihat ada kelainan internal pada hewan inangnya.

Bab II
Sperma Ikan : Morfologi, Daya Gerak dan Kualitas


Proses Pembentukan Sperma Ikan Teleostei

Nagahama (1983) dalam Hoar et al. (1983) menyatakan bahwa perkembangan sel kelamin ikan berlangsung di dalam kista yang dibentuk oleh sel-sel Sertoli. Tahap-tahap spermatogenesis dan spermiogenesis dapat dibedakan berdasarkan karakteristik morfologi nukleus dan sitoplasmanya. Pembentukan kista dimulai dengan pembelahan mitotik spermatogonia. Spermatogonia kemudian berubah menjadi spermatosit primer. Pembelahan meiotik pertama menghasilkan dua sel anak, spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder kemudian berubah menjadi spermatid melalui pembelahan meiotik kedua. Spermatid ini, meskipun memiliki seperangkat kromosom haploid, belum dapat berfungsi sebagai gamet jantan. Mereka harus mengalami diferensiasi menjadi spermatozoa, sebuah proses yang disebut spermiogenesis.

Lama spermatogenesis telah diamati pada beberapa ikan teleostei, dan hasilnya bervariasi antar spesies. Selang waktu spermatogenesis ikan medaka telah ditentukan menggunakan teknik “tritiated thymidine” dan autoradiografik; lama minimum dari sintesis DNA tahap dini dalam “leptotene spermatocyte” sampai spermatid tahap awal adalah 5 hari pada suhu 25 oC (12 hari pada 15 oC) dan periode dari spermatid awal sampai spermatozoa adalah 7 hari pada suhu 25 oC (8 hari pada suhu 15 oC). Pada ikan gapi, periode waktu untuk perkembangan dari leptotene tahap dini menjadi spermatozoa adalah 14,5 hari pada suhu 25 oC. Pada Poecilia shenope lama dari leptotene sampai spermatozoa matang setidaknya 21 hari (Nagahama, 1983, dalam Hoar et al., 1983).

Sekresi dan Fungsi Saluran Sperma Ikan

Lahnsteiner et al. (1993), dengan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron serta kromatografi lapisan-tipis enzim-histokimia dan fotometri, mempelajari fungsi saluran sperma pada ikan-ikan salmonidae (rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, Arctic charr, Salvelinus alpinus, ikan grayling, Thymallus thymallus; whitefish, Coregonus sp.). Selama pemijahan, saluran sperma ikan salmonidae menunjukkan aktivitas sekresi yang tinggi : ia mensintesis berbagai steroid, lipida (trigliserida, asam-asam lemak, ester-ester kolesterol, fosfatidil-kolin), monosakarida (glukosa, fruktosa), protein dan enzim-enzim (fosfatase, glukuronidase dan protease asam dan basa). Ia berperanan penting dalam penyimpanan dan penyerapan-kembali spermatozoa. Ada perbedaan interspesifik dalam hal kapasitas penyimpanan semen (cairan sperma).

Morfologi Sperma Ikan Teleostei

Nagahama (1983) dalam Hoar et al. (1983) menjelaskan morfologi spermatozoa ikan teleostei berdasarkan studi literatur. Spermatozoa teleostei dapat dibagi secara morfologi menjadi kepala, bagian leher, bagian tengah dan ekor. Sperma ikan tidak mempunyai acrosom yang terdapat pada semua kelompok vertebrata lain, hal ini mungkin berkaitan dengan adanya micropyle pada telur teleostei. Kepala secara umum berbentuk bulat atau oval; spermatozoa berbentuk sabit atau bulan-sebelah ditemukan pada ikan sidat. Bagian tengah mengikuti pola ultrastruktur umum, terdiri dari sebuah flagel tengah dan selubung mitokondrial. Pada kebanyakan spermatozoa teleostei, mitokondria ada sedikit, tidak termodifikasi, dan terletak di dalam “lengkung bawah” agak jauh di belakang nukleus. Spermatozoa tak berflagel dan spermatozoa berflagel dua ditemukan pada beberapa ikan teleostei. Flagel ekor spermatozoa pada kebanyakan spesies menunjukkan pola axonemal khas 9 + 2, tetapi spermatozoa sidat memiliki pola khas 9 + 0 tanpa axonema pusat.

Morfologi sperma tampaknya mencerminkan cara pembuahan. Tipe spermatozoa primitif masih dipertahankan pada spesies-spesies yang pembuahannya terjadi di luar tubuh; bentuk nukleus sperma spesies ini bundar. Berbagai modifikasi morfologi sperma terjadi pada spesies dengan pembuahan internal di mana nukleus sperma lebih memanjang dan bagian tengah berkembang sempurna. Contoh yang tepat morfologi sperma seperti ini yang bersesuaian dengan cara reproduksi telah diamati pada dua spesies ikan yang berkerabat dekat. Pada ikan medaka, dengan pembuahan eksternal, morfologi sperma masih primitif dengan nukleus bundar dan bagian tengah pendek. Pada ikan guppy, dengan pembuahan internal, nukleus maupun bagian tengah memanjang.

Sperma Abnormal Pada Ikan Cottus

Quinitio dan Takahashi (1992) mengamati secara ultrastruktural proses spermatogenesis dan spermiogenesis pada ikan river sculpin, Cottus hangiongensis. Selama spermatogenesis, beberapa kista germinal di dalam lobula-lobula seminal ditemukan mengandung spermatosit, yang memiliki inti sel berbentuk tak teratur, mitokondria berbentuk donat, dan jembatan-jembatan interseluler tak-khas dengan sisternae ganda mirip cakram. Selain itu, banyak kista mengandung spermatid berinti dua ditemukan di dalam testis. Di dalam kromatin inti yang berpasangan pada spermatid tak-normal, ditemukan granula-granula berelektron padat, yang menjadi inti globula kromatin yang sedang berkembang. Ukuran globula kromatin bertambah, sehingga menyebabkan pembesaran inti yang berpasangan. Sel-sel ini pada akhirnya dilepaskan dari kista ke lumen lobula seminal dan kemudian mengalami penyusutan lebih lanjut, sehingga tampak sebagai “massa spermatid” yang khas di dalam testis matang-kelamin.

Gamone, Senyawa Pengaktif Sperma Ikan

Blaxter (1983) dalam Hoar et al. (1983) menyatakan bahwa ada bukti-bukti yang menunjukkan aksi gamone pada ikan Lampetra dan teleostei. Senyawa ini mengaktifkan sperma dan berfungsi sebagai penarik (atraktan) kimiawi agar sperma mendekati sel telur, sementara jenis senyawa gamone lain diketahui melumpuhkan atau menggumpalkan sperma. Pada spesies ikan bitterling, Acheilognathus dan Rhodeus, penggerombolan dan aktivitas spermanya berlangsung di daerah micropyle pada korion telur.

Daya Gerak Sperma Ikan Dalam Air

Blaxter (1983) dalam Hoar et al. (1983) mengutip beberapa laporan mengenai kemampuan sperma mempertahankan daya gerak (motility) dan kesuburannya setelah dikeluarkan dari tubuh ikan. Daya gerak sperma berlangsung singkat bila pemijahan terjadi di perairan yang mengalir cepat, sebagai contoh, 10 – 15 detik pada ikan salmon. Di perairan yang mengalir lebih lambat, sperma ikan sturgeon dapat bergerak selama 230 – 290 detik, dan sperma ikan hering laut dapat bergerak selama berjam-jam atau beberapa hari.

Pengaruh Obat Bius 2-Fenoksietanol Terhadap Daya Gerak Sperma Ikan Kowan dan Silver Carp

McCarter (1992) melaporkan bahwa ikan kowan (Ctenopharyngodon idella) dan ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) telah dirangsang untuk memijah di dalam tangki dalam-ruangan. Ikan-ikan induk dibius selama penyuntikan dan pengurutan-perut (stripping) dengan menambahkan obat penenang 2-fenoksietanol pada konsentrasi 0,2 ml/liter. Ternyata bahwa 2-fenoksietanol tidak berpengaruh terhadap daya gerak sperma pada konsentrasi tersebut.

Variasi Tahunan Kualitas Sperma Ikan Mas

Rodriguez Gutierres et al. (1991) menentukan hubungan antara mutu cairan seminal (cairan sperma) dan faktor kondisi ganda, dengan memperhatikan morfologi, daya hidup, jumlah spermatozoa per ml, densitas, berat dan volume total sperma yang dikeluarkan, pada setiap musim pemijahan. Hasilnya menunjukkan bahwa cairan seminal tidak menunjukkan adanya variasi dalam hal daya hidup, morfologi dan densitas sperma untuk semua tahun.

Peningkatan Mutu Sperma Ikan Mas Dengan Natrium Sitrat

Magyary et al. (1991) menggunakan ikan mas (Cyprinus carpio) jantan, yang semuanya berumur dan berukuran sama, sebagai binatang percobaan. Semuanya diberi larutan hormon pituitari untuk merangsang pemijahan. Daya gerak spermatozoa diteliti di dalam air akuarium (sebagai kontrol) dan dalam berbagai konsentrasi garam trinatrium asam sitrat yang berkisar dari 0,2 % (0,007 M) sampai 10 % (0,340) dengan penambahan 10 volume setiap konsentrasi yang sedang diuji ke dalam satu volume sperma. Spermatozoa bisa diaktifkan oleh larutan uji berkonsentrasi rendah. Lama daya gerak bisa sangat ditingkatkan oleh beberapa konsentrasi garam ini. Konsentrasi yang lebih tinggi di mana spermatozoa tidak dapat diaktifkan digunakan sebagai larutan uji untuk mereaktifkannya di dalam percobaan pengawetan jangka pendek. Dibandingkan dengan NaCl, Na-sitrat memberikan aktivitas maksimal yang jauh lebih lama dan juga periode maksimal reaktivasi (penyimpanan) yang jauh lebih lama pula.

Merangsang Spermiasi Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dengan Hormon LHRH-A

Marte et al. (1988) melaporkan bahwa pencangkokan LHRH-A dapat merangsang dan mempertahankan spermiasi (proses pembentukan sel-sel sperma) pada ikan bandeng jantan matang-gonad. Laporan-laporan yang diterbitkan oleh beberapa peneliti lain menunjukkan bahwa penyuntikan intraperitoneal LHRH-A dalam air garam atau dalam propilen glikol 40 %, pencangkokan 1,5 mg/kg LHRH-A dalam silastik atau 25 mikrogram/ikan D-Nal(2)6-LHRH dalam pelet kolesterol merangsang spermatogenesis dan spermiasi pada ikan salmon Atlantik. Penyuntikan LHRH-A juga merangsang spermiasi dan meningkatkan volume sperma pada ikan mas. Sedikit perhatian diarahkan pada spermiasi bandeng jantan kecuali dalam sebuah laporan terdahulu di mana spermiasi pada ikan jantan liar dipertahankan selama 8 hari dengan menggunakan sediaan androgen komersial. Spermiasi dipertahankan pada bandeng yang dicangkoki secara kronis dengan metil testosteron yang dikombinasikan dengan pelet LHRH-A tetapi ikan jantan hanya menunjukkan sedikit respon terhadap LHRH-A.

Bab III
Morfologi dan Perkembangan Telur, Embryo dan Larva Ikan


Morfologi Telur Ikan Lele Dumbo Clarias gariepinus

Riehl dan Appelbaum (1991) mengamati telur ikan lele dumbo, Clarias gariepinus, untuk pertama kalinya dengan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron. Dalam hal bentuk, telur ikan lele sangat berbeda dengan telur ikan teleostei lain; bentuknya mirip topi dari kulit berbulu. Telur Clarias gariepinus dilekatkan pada substrat pada kutub animalnya, yang menunjukkan sebuah benjolan yang terdiri dari banyak filamen pelekat berukuran sangat kecil. Filamen-filamen ini tampaknya merupakan bagian dari zona radiata eksterna. Micropyle, yang terletak di dalam pusat benjolan tersebut, berupa saluran lurus di dalam zona radiata.

Variasi Jumlah Micropyle Pada Telur Ikan Pada Populasi Yang Berbeda

Podushka (1992) melaporkan bahwa jumlah micropyle pada telur ikan sturgeon Acipenser persicus bervariasi dengan kisaran yang relatif lebar baik pada ovari ikan betina yang sama maupun pada ovari ikan-ikan betina yang berbeda dari populasi yang sama. Perbandingan variasi karakter tersebut pada spesies ini dengan spesies sturgeon yang lain menunjukkan bahwa dalam hal karakter tersebut Acipenser persicus berkerabat paling dekat dengan ikan sturgeon Rusia sebagai mana dalam hal karakter-karakter morfologis yang lain.

Perkembangan Telur dan Larva Ikan Muraenesox cinereus

Umezawa et al. (1991) mempelajari perkembangan embryo dan larva ikan pike eel, Muraenesox cinereus, setelah pembuahan secara alami di laboratorium. Telur bersifat pelagis dan berbentuk bulat dengan diameter 1,8 sampai 2,1 mm serta memiliki sebuah korion transparan tak berwarna dan banyak butiran minyak. Penetasan terjadi 36 jam setelah pemihahan pada suhu air 25 oC. Larva yang baru menetas memiliki pajang total rata-rata 5,8 mm, dan jumlah myomer rata-rata 86. Penyerapan kuning telur sempurna pada hari ke-8 setelah menetas, pada panjang total 9 – 10 mm. Larva bertahan hidup selama 10 hari tanpa pasokan makanan dari luar. Pada saat itu panjang total rata-ratanya 11,2 mm dan memiliki myomer sebanyak 97 + 55 = 152, yang merupakan ciri diagnostik spesies ini. Mereka mempunyai mata yang besar dan rahang yang berkembang baik dengan gigi-gigi yang tajam.

Perkembangan dan Laju Penetasan Telur Ikan Perca

delos Reyes et al. (1992) melaporkan bahwa untaian telur hasil pemijahan alami ikan perch, Perca fluviatilis, telah diambil dari tumbuhan air-tenggelam di Danau Plussee, Holstein, Jerman Utara dari April sampai Mei 1989. Telur-telur ini dierami secara in situ (di lapangan) dan di laboratorium untuk menduga daya hidup, perkembangan dan abnormalitas embryo. Dari telur yang dierami in situ, sebanyak 91,6 % embryo adalah dapat-hidup, bagian yang tak hidup mencakup 1,1 % telur tak terbuahi, 5,1 % mati dan 2,2 % tidak normal. Pada telur yang dierami di laboratorium, sebanyak 84,1 % menghasilkan embryo hidup, dan bagian yang tak hidup meliputi 1,1 % telur tak dibuahi, 11,3 % mati dan 3,5 % tidak normal. Tingkat penetasan embryo Perca fluviatilis baik in situ maupun laboratorium (10 oC in situ dan 8 oC di laboratorium) dengan periode pengeraman 20 – 27 hari sejak pembuahan, adalah 50 % yang menetas.

Telur dan Perkembangan Embryo dan Larva Ikan Blepsias

Munehara dan Shimazaki (1991) mempelajari perkembangan embryo dan morfologi larva yang baru menetas ikan liitle dragon sculpin Blepsias cirrhosus. Telur Blepsias cirrhosus hampir bulat, berdiameter 3,0 – 3,2 mm dan mempunyai kuning telur berwarna oranye-terbakar. Perkembangannya sangat lambat, terutama setelah kemunculan embryo. Embryo mulai terbentuk pada hari ke-10. Embryo awal berukuran kurang dari 1,6 kali keliling kuning telur. Panjang notochord larva yang baru menetas rata-rata 11,1 mm. Larva berkembang sedemikian sempurna hingga notochord siap membengkok dan jari-jari sirip ekor dan sirip dada sedang terbentuk.

Morfologi Telur dan Perkembangan Larva Ikan Atherion elymus

Kimura dan Tsukamoto (1990) mengamati perkembangan embryo, larva dan juvenil ikan atherinidae, Atherion elymus, berdasarkan beberapa individu ikan ini yang dipelihara di laboratorium. Telur hampir berbentuk bulat, berdiameter 0,90 – 1,05 mm, dengan sejumlah besar filamen korionik. Penetasan terjadi antara 13 dan 17 hari setelah pemijahan pada suhu air 20,5 – 21,4 oC. Larva yang baru menetas berukuran panjang 3,95 – 4,70 mm NL (notochord length) dan mempunyai 4 – 37 myomer. Pembengkokan notochord dimulai pada panjang 7,0 – 7,5 mm NL. Jumlah semua jari-jari sirip menjadi lengkap pada panjang 10,7 – 11,5 mm (panjang baku), ketika larva mencapai tahap juvenil. Sisik-sisik menjadi hampir sempurna pada panjang baku 18,5 – 20 mm. Larva spesies ini bisa dibedakan dari larva Hypoatherina tsurugae dan H. bleekeri karena memiliki sedikit melanofora tepat sebelum ujung notochord baik pada sisi dorsal (punggung) maupun ventral (perut), dan mempunyai melanofora-melanofora berbentuk titik pada pertengahan sisi badan.

Perkembangan Telur Sampai Larva Hasil Pijah Rangsang Ikan Buntal

Fujita dan Honma (1991) merangsang kematangan ovari ikan buntal Takifugu exascurus kemudian mengamati perkembangan embryo, larva serta juvenilnya. Ikan induk dikumpulkan di Tassha Bay, Pulau Sado, selama musim pemijahan pada tahun 1986 yang tampaknya musim ini berlangsung dari akhir Juni sampai pertengahan Juli. Tiga mg pituitari ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) kering-aseton disuntikkan ke setiap ikan buntal betina untuk merangsang kematangan ovari, yang terjadi dalam waktu sekiar 77 hari pada suhu air 19,5 – 21,0 oC. Telur yang diperoleh melalui penyuntikan hormon dibuahi secara buatan dengan sperma dari seekor ikan buntal jantan. Larva yang menetas secara berturut-turut diberi pakan berupa rotifera Brachionus plicatilis, naupli Artemia dan cincangan daging ikan, kemudian larva ini dipelihara selama sekitar satu tahun.

Telur ikan ini berbentuk bulat, berdiameter 1,24 ± 0,04 mm, demersal dan lengket. Membran telur tampak transparan, dan kuning telur berwarna oranye, yang mengandung sekelompok butiran minyak kecil. Periode pengeraman adalah sekitar 160 jam pada suhu air 18,5 – 21,0 oC. Larva yang baru menetas, yang berukuran panjang total 2,9 – 3,1 mm, memiliki 8 + 15 = 23 myomer. Kuning telur diserap sempurna 3 hari setelah menetas, pada saat ini larva mencapai panjang total 3,5 – 3,6 mm. Lipatan-lipatan sirip menghilang, sirip punggung menyusut, sirip dubur dan sirip ekor terbentuk ketika panjang total larva 4,1 – 4,4 mm, dalam 6 hari setelah menetas. Pada larva berumur 9 hari (panjang total 5,4 mm) jari-jari sirip yang menyusut terbentuk pada sirip punggung, dubur dan ekor, sementara sisik mirip-duri terbentuk pada perut. Pada ikan umur 16 hari, dengan panjang total 9,1 – 10,2 mm, jari-jari sirip menjadi sempurna pada semua sirip, dan ikan mencapai tahap juvenil.

Larva Ikan Sebagai Tahap Kritis

Telah dilaporkan adanya penurunan biomas ikan sardine Pasifik (Sardinops caerulea) dan peningkatan biomas ikan anchovy utara (Engraulis mordax) di lepas pantai sebelah barat USA yang bermula pada sekitar tahun 1945. Vrooman dan Smith (1970) menghitung bahwa antara tahun 1950 dan 1965 biomas pemijahan ikan anchovy meningkat dari sekitar 0,7 x 106 ton sampai hampir 8 x 106 ton. Rata-rata biomas total untuk periode 1962 – 1966 diduga 6,2 x 106 ton, yang dibagi menjadi tiga sub-populasi : stok bagian tengah di lepas pantai selatan California sebanyak 4,8 x 106 ton, stok utara sebanyak 0,27 x 106 ton yang tersebar di sepanjang pantai utara California dan selatan Oregon, dan stok selatan sebesar 1,1 x 106 ton di lepas pantai Baja California. Peningkatan tajam biomas anchovy pada saat biomas sardine menurun tajam memperkuat dugaan bahwa interaksi kompetitif berlangsung di antara kedua spesies, tetapi Smith (1972) menyimpulkan bahwa baik tingkah laku makan anchovy dan sardine maupun dinamika populasi organisme makanan tidak cukup untuk mendukung timbulnya kompetisi. Ia menunjukkan bahwa kurva frekuensi panjang larva memperlihatkan sedikit perubahan, dan diduga bahwa kompetisi akan berlangsung dalam tahap juvenil dan pra-rekruitmen.

Pada dekade terakhir, Lasker (1975, 1978) telah melakukan studi intensif terhadap tingkah laku makan larva anchovy. Ia memijahkan anchovy di dalam laboratorium, menetaskan telur dan mulai mempelajari perilaku makan larva ikan tersebut di laboratorium. Ia menemukan bahwa ketika larva pertama kali mencaplok makanannya (pada panjang sekitar 3,5 mm) mulutnya masih kecil dan kebanyakan makanan berupa partikel-partikel berdiameter 60 – 80 mikron. Larva-larva ikan ini relatif tidak efisien, hanya berhasil mencaplok satu dari sepuluh organisme makanan yang diserangnya, dan dengan demikian memerlukan konsentrasi makanan yang sangat tinggi di dalam lingkungannya agar mereka tetap hidup. Dengan meningkatnya konsentrasi makanan maka laju penelanan meningkat, tetapi tidak semua organisme dalam kisaran ukuran penelanan dapat dijadikan sebagai makanan. Dari berbagai spesies plankton yang diuji, hanya dinoflagelata Gymnodinium spendens yang dapat menyokong pertumbuhan ikan. Banyak spesies zooplankton yang dapat dijadikan makanannya, tetapi tampaknya tidak ada yang terdapat di alam dengan konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan.

Tahap penelitian selanjutnya adalah memindahkan larva yang sedang dalam kondisi pertama kali-makan ke laut dan menghadapkannya kepada organisme-organisme mangsa dalam sampel air laut alami. Ternyata bahwa agar dapat berhasil makan maka dalam setiap ml air laut paling sedikit harus ada 20 – 30 sel fitoplankton dengan diameter minimum 30 mikron. Larva dengan baik memakan Gymnodinium spendens, tetapi tidak mengambil Chaetoceros sp. atau pun Thalassiosira sp. Konsentrasi fitoplankton yang cocok dijumpai dalam lapisan klorofil maksimal yang, pada April 1974, terletak pada kedalaman 15 – 20 meter sepanjang pesisir California. Angin badai yang menyebabkan pengadukan massa air permukaan setebal 20 m membuyarkan lapisan berkonsentrasi fitoplankton tinggi ini, dan bisa menyebabkan kematian masal larva ikan yang sedang dalam fase pertama kali-makan.

Dengan memanfaatkan informasi ini, kondisi oseanografis di Southern California Bight (Teluk California Selatan) dipantau selama musim pemijahan ikan anchovy 1975 (Januari – Mei). Makanan yang sesuai ditemukan melimpah dalam lapisan klorofil maksimum pada Januari, tetapi upwelling yang kuat mulai berlangsung pada Februari dan setelah terganggu sebentar pada awal Maret, mereka kembali pulih pada April dan berlanjut sampai melewati akhir musim pemijahan tersebut. Pengaruh upwelling adalah menghamburkan massa air kaya-dinoflagelata dan menggantikannya dengan berbagai jenis diatom kecil yang tidak cocok sebagai makanan larva ikan ini. Akibatnya bisa diduga bahwa ikan anchovy utara kelas tahun 1975 akan menjadi sedikit.

Kesimpulan umum hasil penelitian seperti ini adalah bahwa kelangsungan hidup dan pertumbuhan anchovy yang baru menetas merupakan fase yang sangat kritis karena kondisi yang menyediakan cukup makanan yang sesuasi tergantung pada adanya dinoflagelata berkonsentrasi tinggi pada kondisi yang relatif tenang. Angin kuat dari utara, yang menyebabkan upwelling, atau angin kencang dari arah lain yang mengaduk lapisan permukaan samudra, menyebabkan pemencaran semua masa air kaya-dinoflagelata yang penting. Hal ini merupakan kasus khusus teori Hjort (1914) yang menyatakan bahwa keberhasilan kelas tahun suatu ikan bergantung terutama pada kecukupan konsentrasi makanan yang cocok yang ada selama tahap pertama kali mencari-makan yang kritis. Salah satu fenomena yang masih membingungkan adalah mengapa biomas anchovy meningkat luar biasa sejak tahun 1950.

Penjelasan yang bagus mengenai hal ini dijumpai dalam makalah yang baru-baru ini ditulis oleh Methot dan Kramer (1979). Dengan menggunakan teknik yang baru saja dikembangkan untuk mengetahui cincin pertumbuhan harian dalam “sagittal otolith” (batu-telinga segitiga), mereka menentukan laju pertumbuhan larva anchovy utara berumur kurang dari sebulan dari dua belas stasiun di lepas pantai Los Angeles. Mereka menemukan bahwa pada sembilan stasiun pertumbuhannya serupa, yang berkisar dari 0,34 sampai 0,40 mm per hari untuk ikan sepanjang 8 mm, sedangkan pada tiga stasiun sisanya pertumbuhannya lebih baik, yaitu 0,47 sampai 0,55 mm per hari. Nilai ini bersesuaian dengan laju pertumbuhan yang diperoleh dari laboratorium pada kondisi makanan melimpah. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa larva anchovy yang memperoleh cukup makanan untuk bertahan hidup tampaknya memperoleh cukup energi untuk tumbuh dengan cepat. Mereka mempersoalkan apakah kelangsungan hidup larva-larva ini ditentukan terutama oleh makanan ataukah oleh pemangsaan, tetapi sayangnya tidak ada data yang cukup untuk menjawab pertanyaan ini. Secara umum, tampak bahwa studi biologi anchovy utara ini bergeser dari dinamika populasi stok tunggal yang ketat ke pertimbangan hubungan makanan, tetapi informasi tersebut saat ini lebih terbatas daripada pengetahuan kita mengenai hubungan rantai makanan beberapa stok pelagis di Atlantik.

Bab IV
Penyimpanan-Beku dan Penyimpanan-Dingin Telur dan Sperma Ikan


Kesuburan Telur dan Sperma Ikan Yang Disimpan-Beku dan Disimpan-Dingin

Kesuburan telur dan sperma ikan karper India Labeo rohita, ikan mas Cyprinus carpio, tawes Puntius gonionotus, ikan kowan Ctenopharyngodon idella, bighead carp Aristichthys nobilis dan ikan jambal Pangasius sutchii diteliti setelah disimpan dalam lemari es, termos es dan nitrogen cair (LN2, Liquid Nitrogen). Periode kesuburan telur setelah dikeluarkan dari tubuh induk tidak banyak bertambah lama dengan perlakuan penyimpanan-dingin dalam refrigerator. Periode untuk mengaktifkan sperma setelah dikeluarkan dari tubuh induk bertambah lama sampai beberapa jam dengan perlakuan penyimpanan-dingin dalam syringe (botol semprot). Sperma ikan-ikan karper (seperti karper India, ikan mas, tawes, bighead carp) yang dicampur dengan larutan DMSO (dimetil sulfoksida) dapat diaktifkan lagi setelah disimpan dalam nitrogen cair. Pada satu percobaan, sperma ikan karper India disimpan dalam nitrogen cair sedangkan telur yang telah dibuahi dan sperma segar dijadikan sebagai kelompok kontrol. Sperma ikan Pangasius sutchii, yang diencerkan dan disimpan dalam nitrogen cair, membentuk gel sehingga tidak dapat digunakan secara efektif untuk membuahi telur.


Prosedur Penyimpanan Dingin Telur dan Sperma Ikan



Withler (1980) menjelaskan prosedur penyimpanan dingin telur dan sperma ikan dengan mempertahankan kesuburannya. Telur hasil pengurutan perut ikan (biasanya bervolume 25 atau 50 ml) dimasukkan ke dalam gelas arloji 250 ml yang ditutup dengan kertas aluminium atau kantung plastik, kemudian disimpan di dalam lemari es. Sperma ikan dipindahkan ke dalam botol syringe plastik lalu dimasukkan ke dalam lemari es. Termometer maksimum-minimum ditempatkan di dalam lemari es untuk mengontrol suhu agar tetap pada kisaran 2 – 9 oC. Untuk menguji kesuburannya, sebagian kecil sperma yang telah disimpan dalam lemari es dicampurkan dengan telur di dalam kaca arloji kecil. Sperma dan telur diaduk dengan bantuan bulu sehingga bercampur; air kolam atau air keran ditambahkan segera setelah percampuran. Setelah telur dan sperma diaduk pelan-pelan di dalam air, telur dituangkan ke dalam corong penetasan untuk diinkubasi.


Prosedur Penyimpanan-Beku (Kryogenik) Telur dan Sperma Ikan

Sperma ikan dipindahkan ke syringe berkapasitas 10 ml sampai mencapai volume yang dibutuhkan kemudian dituangkan ke kaca arloji kecil. Diluent (cairan pengencer) diukur sampai volume yang diinginkan dengan menggunakan syringe dan dituangkan ke kaca arloji yang berisi sperma (biasanya 4 bagian diluent : 1 bagian sperma). Larutan ini dicampur semuanya kemudian dimasukkan ke dalam syringe dan dituangkan ke dalam ampul (botol kecil) berkapasitas 1 ml yang biasa dipakai untuk menyuntikkan sperma sapi. Ampul yang tak disegel diletakkan di dalam kaleng penyokong dan digantungkan di dalam uap pada ketinggian 2 cm atau lebih di atas nitrogen cair (LN2) di dalam wadah kryogenik sampai membeku (5 – 10 menit). Kaleng yang telah berisi sperma tersebut kemudian ditenggelamkan di dalam nitrogen cair sampai saat dibutuhkan.

Wadah LN2 berupa sebuah Linde model LD-10 dengan kapasitas maksimum 31,8 liter. Diluent terdiri dari “extender” (pengencer) dan bahan pelindung, biasanya dengan perbandingan 9 bagian extender : 1 bagian bahan pelindung. Extender merupakan suatu larutan bahan organik dan garan anorganik, yang kurang lebih isotonik dengan cairan sperma. Bahan pelindung adalah suatu bahan yang meresap ke dalam sel sperma yang berfungsi meminimumkan kerusakan sperma akibat pembekuan dan pencairan. Bahan pelindung yang paling sering digunakan adalah dimetil sulfoksida (DMSO); gliserol jarang dipakai.

Extender dibuat dengan menambahkan 100 ml air suling ke dalam campuran bahan kimia yang telah ditimbang beratnya dan diaduk. Hanya ada dua jenis extender yang paling efektif untuk keperluan penyimpanan-beku sperma ikan salmon pada pengujian di Pacific Biological Station yakni extender 189M dan 251. Bahan kimia penyusun extender adalah NaCl, NaHCO3, fruktosa, lesitin nabati dan manitol.

Prosedur pencairan sperma beku pertama-tama adalah mengambil ampul dari LN2 kemudian pegang pada bagian ujung yang terbuka lalu celup dan goyang-goyangkan di dalam air keran atau air kolam hingga sebagian sperma mencair. Leher botol ampul dipotong dan isinya dituangkan langsung ke telur yang baru saja diurut keluar dari tubuh induknya, selanjutnya sperma dan telur tersebut diaduk dengan menggunakan sehelai bulu besar. Air ditambahkan ke campuran sperma-telur tersebut, lalu diaduk pelan-pelan. Telur selanjutnya dituangkan ke dalam corong penetasan untuk diinkubasi.


Upaya Meningkatkan Kesuburan Telur Ikan Yang Disimpan

Kegagalan upaya menyimpan telur ikan selama periode yang cukup panjang disebabkan antara lain oleh fakta bahwa pada ikan lele dan karper tropis, perkembangan kematangan telur dimulai segera setelah dilepaskan dari tubuh induknya, dibuahi atau tidak. Sekali pembelahan sel berlangsung, fertilisasi tidak dapat terjadi. Perkembangan telur secara partenogenetik ini berlangsung sampai tahap morula atau gastrula, setelah itu telur mati.

Agar penyimpanan telur yang belum dibuahi dapat berhasil maka pembelahan sel telur harus dihambat. Beberapa tehnik yang mungkin dapat dicoba untuk keperluan ini adalah :
(1) Pendinginan telur segera setelah dikeluarkan dari tubuh induknya.
(2) Melindungi telur secara total dari udara lembab.
(3) Memasukkan telur ke dalam larutan yang hipertonik atau isotonik dan tak bersifat racun.

Sukrosa dan Metanol Meningkatkan Toleransi Embryo Oyster Terhadap Pendinginan dan Pembekuan

Renard (1991) mengamati toleransi terhadap pendinginan dan pembekuan pada embryo oyster Pasifik (Crassostrea gigas) yang sedang memasuki tahap perkembangan 2 – 4 sel dengan atau tanpa penambahan senyawa pelindung-beku (cryoprotective). Kelangsungan hidup embryo yang didinginkan dalam air laut tanpa senyawa pelindung-beku menurun ketika suhu air laut diturunkan dan lama waktu pemaparan (exposure time) diperpanjang. Bagaimanapun, toleransi terhadap pendinginan bervariasi sesuai dengan kualitas embryo. Setelah didinginkan pada 0 oC selama 5 menit ultrastruktur membran plasma dan organisasi organela di dalam sitoplasma sel menjadi berantakan. Penambahan sukrosa sampai konsentrasi 0,50 M ke embryo yang didinginkan sedikit meningkatkan toleransi terhadap pendinginan dan mengurangi kerusakan akibat pendinginan. Penambahan metanol 0,50 M bersama dengan sukrosa 0,25 M menyebabkan sejumlah besar (46,9 ± 0,4 %) embryo yang didinginkan bertahan hidup 15 menit pada suhu -6 oC. Pada penambahan metanol 0,50 M atau 1,00 M bersama dengan sukrosa 0,25 M hanya sedikit embryo yang bertahan hidup pada suhu -10 oC dan -20 oC. Setelah disimpan dalam nitrogen cair, sebagian besar embryo mati pada semua konsentrasi metanol dan sukrosa yang dicobakan, tetapi ada beberapa yang bisa berkembang menjadi larva D setelah pengeraman.

DMSO dan Gliserol Sebagai Senyawa Pelindung-Beku Untuk Embryo Avertebrata

Menurut Renard (1991), berdasarkan penelitian-penelitian lain, banyak jenis binatang telah berhasil disimpan-beku pada suhu yang sangat rendah. Embryo bulu babi, di dalam larutan dimetil sulfoksida (DMSO) 1,00 M,dapat bertahan hidup selama pembekuan pada suhu serendah -196 oC. Tingkat kelangsungan hidup naupli udang penaeidae dan protozoa melebihi 90 % setelah disimpan selama 5 menit pada suhu -30 oC tetapi tingkat kelangsungan hidup menurun setelah disimpan pada suhu -196 oC. Sebuah percobaan telah dilakukan untuk membekukan embryo remis (Choromytilus chorus) pada tahap awal perkembangan (antara 1 dan 8 sel). Dalam percobaan ini, meskipun tak ada embryo yang hidup setelah pembekuan, terlihat bahwa embryo remis dapat bertahan hidup terhadap pembekuan pada suhu -196 oC asalkan diberi larutan gliserol 1,50 M.

Bab V
Penyimpanan Sperma Ikan Jangka-Panjang


Penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan sperma ikan karper di dalam dua jenis extender (bahan pengencer) yang dikembangkan untuk salmon Pasifik, yaitu extender 189M dan 251, memperlihatkan aktivitas yang cukup tinggi (5 – 20 %) setelah disimpan dalam nitrogen cair. Hal ini memperkuat dugaan bahwa penyimpanan sperma ikan karper jangka-panjang cukup memuaskan. Spesies yang memperlihatkan potensi ini adalah karper India, ikan mas dan tawes. Penyimpanan sperma ikan bighead carp mungkin juga bisa dilakukan pada kondisi yang lebih baik. Pada suatu pengujian di mana sperma ikan karper India yang disimpan dalam nitrogen cair dipakai untuk membuahi sel telur segar, 58 % telur tersebut akhirnya menetas menjadi larva yang sehat, tak beda jauh dengan laju penetasan pada kelompok telur kontrol.

Beberapa faktor yang harus diuji untuk mengoptimalkan teknik tersebut di atas bagi ikan karper adalah sebagai berikut :

(1) Extender. Dua jenis extender yang diuji, meskipun masih bayak jenis yang lainnya, telah berhasil dicobakan untuk mengawetkan sperma ikan salmon Pasifik. Mungkin jenis-jenis extender lain yang lebih sesuai untuk ikan karper dapat dikembangkan. Adalah mungkin bahwa jenis extender yang optimum dapat berbeda-beda untuk tiap spesies ikan – penelitian Withler (1980) membuktikan bahwa extender 189M lebih sesuai untuk sperma ikan karper India dari pada extender 251. Hasil penelitian lain menyimpulkan bahwa banyak jenis extender yang telah dicobakan pada ikan-ikan salmonidae dapat diujikan juga pada ikan karper. Barangkali yang lebih penting adalah metode memecahkan masalah : menemukan larutan isotonik yang mampu mempertahankan sperma tetap hidup tapi tak aktif, larutan yang bersifat buffer (penyangga) bagi sperma agar mampu bertahan terhadap kondisi asam dan basa yang disebabkan oleh senyawa pelindung beku (DMSO; senyawa ini menyebabkan larutan bersifat asam), menambahkan senyawa pelindung yang sesuai, kemudian menguji aktivitas dan kemampuan membuahi pada sperma yang dibekukan dalam larutan tersebut kemudian membandingkan hasilnya dengan kemampuan serupa pada sperma segar dalam membuahi telur segar yang sama.

Karena baik 251 maupun 189M tampaknya kurang efektif bagi ikan karper, mereka seharusnya sedikit dimodifikasi agar lebih efektif, sebelum mencoba mengembangkan extender yang sama sekali baru. Pengembangan extender baru seharusnya diberi prioritas lebih rendah daripada pengujian faktor-faktor lain di bawah ini.

(2) Senyawa pelindung. Sebagian besar penelitian di sini menggunakan DMSO sebagai senyawa pelindung-beku, meskipun gliserol juga kadang-kadang dipakai. Untuk sperma ikan karper, berdasarkan data yang ada, DMSO tampaknya memiliki potensi yang lebih besar. Dengan demikian disarankan untuk melakukan penelitian dengan menggunakan DMSO dalam berbagai konsentrasi dari 2 – 12 % pada selang 2 %. Penelitian ini mungkin sebaiknya dilakukan pada empat spesies ikan karper.

(3) Laju pembekuan dan pencairan. Penelitian lain telah menemukan bahwa laju pembekuan dan pencairan sperma encer berperanan penting dalam meningkatkan aktivitas sperma. Penelitian dengan sperma ikan salmon Pasifik menunjukkan bahwa faktor-faktor ini tidak terlalu penting dalam batas-batas tertentu, kecuali bahwa lebih baik membekukan campuran sperma-extender segera setelah sperma dikumpulkan dan mencairkan campuran yang telah beku itu secepatnya.

Untuk menciptakan laju pembekuan yang berbeda, metode paling sederhana (tapi paling kasar) adalah dengan mengatur ketinggian ampul di atas nitrogen cair selama proses pembekuan awal. Hal ini dilakukan dengan menempatkan ampul dalam kaleng pada ketinggian yang berbeda, dari 2 cm di atas cairan nitrogen sampai 20 cm, mungkin bisa sampai leher tangki. Biasanya paling tidak 3 ampul dapat dimasukkan ke dalam sebuah kaleng - hasil pengujian ampul terendah dapat dibandingkan dengan hasil dari ampul tengah dan ampul atas. Makin dekat ampul dengan permukaan nitrogen cair makin cepat isinya membeku.

Laju pencairan dapat diuji dengan mencairkan ampul di dalam air pada suhu yang berbeda. Untuk ikan salmon, telah dipelajari suhu air-pencairan dari 10 – 45 oC. Ditemukan bahwa suhu 45 oC paling baik bagi sperma dalam membuahi telur, meskipun perbedaannya tidak besar. Bagaimanapun, penting untuk mencampurkan sperma yang telah dicairkan secepat mungkin, karena sperma tersebut tampaknya hidup hanya beberapa detik setelah dicairkan.

(4) Volume sperma beku. Pengaruh volume sperma beku seharusnya diamati pula. Untuk kebutuhan di lapangan, volume yang lebih banyak daripada 1 – 2 ml akan lebih baik karena akan mengurangi jumlah fertilisasi individual yang dibutuhkan. Pengurangan jumlah fertilisasi yang dibutuhkan oleh telur akan dapat menghemat waktu, yang merupakan faktor penting bagi telur ikan karper yang mulai berkembang segera setelah dikeluarkan dari tubuh ikan.



Referensi :

Blaxter, J.H.S. 1983. Development : Eggs and Larvae in Hoar, W.S., D.J. Randall and E.M. Donaldson. (Eds.). 1983. Fish Physiology, Vol. 9 : Reproduction, Part A : Endocrine Tissues and Hormones. Academic Press, New York. 502 pp.

Chan, S.T.H. and W.S.B. Yeung. 1983. Sex Control and Sex Reversal in Fish Under Natural Conditions in W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M. Donaldson. (Eds.). 1983. Fish Physiology IX B. Academic Press. New York. 477 pp.

Deelder, C.L. 1984. Synopsis of Biological Data on The Eel, Anguilla anguilla (Linnaeus, 1758). FAO Fisheries Synopsis, No. 80. 73 pp.

delos Reyes, M.R., H.H. Arzbach and E. Braum. 1992. In Situ Development of Perch Eggs, Perca fluviatilis L. (Pisces, Percidae) in a Small Eutrophic Lake, Lake Plussee, Holstein, Germany. Internationale Revue der Gesamten Hydrobiologie, Vol. 77, No. 3, pp. 467 - 481

Fujita, S. and Y. Honma. 1991. Induction of Ovarian Maturation and Development of Eggs, Larvae and Juveniles of The Puffer, Takifugu exascurus, Reared in The Laboratory. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 38, No. 2, pp. 211 – 218

Hickman, C.P. and F.M. Hickman. 1974. Integrated Principles of Zoology. Mosby Company, Saint Louis, 1025 pp.

Hunter, G.A. and E.M. Donaldson. 1983. Hormonal Sex Control and Its Application to Fish Culture in W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M. Donaldson. (Eds.). 1983. Fish Physiology IX B. Academic Press. New York. 477 pp.

Katano, O. 1990. Seasonal, Sexual and Individual Variations in Gonad Weight and Secondary Sexual Characters of The Dark Chub, Zacco temmincki. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 37, No. 3, pp. 246 – 255

Kimura, S. and Y. Tsukamoto. 1990. Development of Larvae and Juveniles of The Atherinid Fish, Atherion elymus, Reared in The Laboratory. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 37, No. 1, pp. 29 – 33

Lahnsteiner, F., R.A. Patzner and T. Weismann. 1993. The Spermatic Ducts of Salmonid Fishes (Salmonidae, Teleostei) : Morphology, Histochemistry and Composition of The Secretion. Journal of Fish Biology, Vol. 42, No. 1, pp. 79 - 93

McCarter, N. 1992. Sedation of Grass Carp and Silver Carp With 2-Phenoxyethanol During Spawning. Progressive Fish Culturist, Vol. 54, No. 4, pp. 263 - 265

Magyary, I., R. Szabo, T. Kovacs and L. Horvath. 1991. Effect of Different Na-citrate Concentrations on Motility of Carp Sperm. Halaszat, No. 3, pp. 142 – 144

Marte, C.L., L.W. Crim and N.M. Sherwood. 1988. Induced Gonadal Maturation and Rematuration in Milkfish : Limited Succes with Chronic Administration of Testosterone and Gonadotropin-Releasing Hormone Analogues (GnRH-A).

Munehara, H. and K. Shimazaki. 1991. Embryonic Development and Newly Hatched Larvae of The Little Dragon Sculpin Blepsias cirrhosus. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 38, No. 1, pp. 31 – 34

Nagahama, Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads in Hoar, W.S., D.J. Randall and E.M. Donaldson. (Eds.). 1983. Fish Physiology, Vol. 9 : Reproduction, Part A : Endocrine Tissues and Hormones. Academic Press, New York. 502 pp.

Quinitio, G.F. and H. Takahashi. 1992. An Ultrastructural Study on The Occurrence of Aberrant Spermatids in The Testis of The river sculpin, Cottus hangiongensis. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 39, No. 3, pp. 235 - 242

Podushka, S.B. 1992. Variability of Micropyle Numbers in The Eggs of The Persian Sturgeon Acipenser persicus From The Volga River. Journal of Ichthyology, Vol. 32, No. 4, pp. 166 – 167

Renard, P. 1991. Cooling and Freezing Tolerances in Embryo of Pacific Oyster, Crassostrea gigas : Methanol and Sucrose Effects. Aquaculture, Vol. 92, pp. 43 - 57

Riehl, R. and S. Appelbaum. 1991. A Unique Adhesion Apparatus on The Eggs of The Catfish Clarias gariepinus (Teleostei, Clariidae). Japan Journal of Ichthyology, Vol. 38, No. 2, pp. 191 – 198

Robinson, A. 1992. Gonadal Cycle of Crassostrea gigas kumamoto (Thurnberg) in Yaquina Bay, Oregon and Optimum Conditions for Broodstock Oysters and Larval Culture. Aquaculture, Vol. 106, No. 1, pp. 89 - 97

Rodriguez Gutierres, M., G. Garza Mourino and S. Maranon Herrera. 1991. Yearly Evaluation of The Seminal Liquid in Carps, Cyprinus carpio, at The First Reproduction. Universidad Ciencias, Vol. 1, No. 4, pp. 53 - 59

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. TFH Publication, Inc. Hong Kong. 352 pp.

Umezawa, A., T. Otake, J. Hirokawa, K. Tsukamoto and M. Okiyama. 1991. Development of The Eggs and Larvae of The Pike Eel, Muraenesox cinereus. Japan Journal of Ichthyology, Vol. 38, No. 1, pp. 35 – 40

Vinuesa, J.H. 1989. Effects and Incidence of Parasitism in The Centolla (Lithodes santolla) and Centollon (Paralomis granulosa). Physis, Part A, Vol. 47, No. 112, pp. 45 - 51

Withler, FC. 1980. Chilled and Cryogenic Storage of Gametes of Thai and Catfish. Canadian Technical Report of Fisheries and Aquatic Sciences No. 948. 15 pp.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar